Rabu, 27 April 2011

Infamy "Band Cadas Dari Bandung"






Infamy adalah salah satu band
cadas berkualitas dari pinggiran
Bandung, yang mampu membuat
Bandung terus berada di peta
ketika kita berbicara tentang
musik metal.

Suasana kuat ala metal modern macam Lamb of
God maupun sedikit pengaruh
Death Metal membuat album ini
layak disimak. “Kultur Bisu” merupakan lagu terkuat yang
merupakan pesta distorsi
bertempo cepat.

Lirik Inggris
tampil baik berkat bantuan
seorang teman bule di lagu
“Megalomaniac” membuat Infamy terdengar lebih siap
untuk dinikmati di negara lain
(walau lagu lainnya masih
memuat bahasa Inggris yang
buruk).

Bila Anda gemar musik metal modern, padat dan berat, maka Infamy bisa menjadi pilihan yang tepat. ���

Infamy - 01 Kultur Bisu.mp3
Infamy - 02 Megalomaniac.mp3
Infamy - 03 Silent Farewell.mp3
Infamy - 04 Awan Hitam.mp3
Infamy - 05 I'm Lost.mp3
Infamy - 06 Rekayasa Genetika Feat Ady Gembel Forgotten.mp3
Infamy - 07 Sinking Without Trace.mp3

Infamy - 08 Nocturno.mp3
Infamy - 09 Infamy.mp3
Infamy - 10 Konspirasi.mp3
Infamy - 11 Necrophiliac.mp3
Infamy - 12 Bitter Of Dead.mp3

Nasty Pig Dick – Flesh For The Worms (Ep) (2011)


Origin:Mexico
Genre:Slamming Brutal Death Metal

Tracklist:
1.Infested By Worms
2.Flesh On My Chainsaw
3.Juicy Juice Of Bowels
4.One Minute Cuming On You
5.Splatter Torso On My Cock


Vomitory – Opus Mortis VIII (2011)



Origin:Sweden
Genre:Death Metal

Tracklist:
1. Regorge in the Morgue
2. Bloodstained
3. They Will Burn
4. The Dead Awaken
5. Hate in a Time of War
6. Torturous Ingenious
7. Forever Damned
8. Shrouded in Darkness
9. Combat Psychosis
10. Requiem for the Fallen

Siksakubur dan Tentara Merah Darah



Album terbaru salah satu band
brutal death metal terbaik
ibukota, Siksakubur (selanjutnya
disingkat SK), Tentara Merah
Darah akhirnya dirilis juga
menjelang akhir bulan lalu setelah penantian yang cukup
mendebarkan di kancah metal
tanah air. Bagaimana tidak,
pasca dirilisnya album Podium
(2006, Rottrevore Records),
nasib band yang berbasis di Jakarta Timur ini sempat
terombang-ambing tak menentu.

Berawal setelah sang drummer
sekaligus pendiri dan motor SK,
Andyan Gorust mengundurkan
diri yang disusul oleh bassist Yudi
Bebek. Dua personel yang
tersisa, Japra (vokal) dan Andre (gitar) terpaksa dituntut
bekerja ekstra keras untuk
menjaga bendera SK agar tetap
berkibar. Setelah melalui masa-
masa sulit, akhirnya SK kembali
terinjeksi darah segar dengan masuknya drummer Prama (eks-
Alexander/The Last Suffer) dan
basis Ewin alias Ewok (eks-
Extrasensory) ke dalam formasi
SK. Pasukan SK pun kembali
menghajar panggung-panggung metal yang sempat terabaikan
oleh mereka selama hampir satu
tahun.

Bersama formasi baru tersebut,
SK menggarap materi Tentara
Merah Darah. Dan pada saat
pesta rilis albumnya di Green
Cafe, Kemang, Jakarta (21/2)
lalu, SK juga mengumumkan personel terbarunya, gitaris
Nyoman (eks-Funeral Inception,
Death Valley).

Simak hasil wawancara Rolling
Stone dengan Andre Tiranda,
gitaris sekaligus pemimpin
Siksakubur berikut ini.

Ceritakan pengalaman Anda
selama proses produksi
rekaman Tentara Merah
Darah. Berapa lama dan
bagaimana sistem kerja
bersama produser Amri Putrajaya?


Ini adalah album pertama dimana
kami bekerja di bawah
"pengawasan" produser. Kenapa
kami memilih Amri? Murni karena
dia adalah orang yang
mendengarkan segala jenis musik. Orangnya to the point, sangat
terjadwal. Apapun sudah dijadwal
sama dia. Hampir mirip kayak di
kantor lah (Tertawa). Dan yang
pasti great sense of music!
Proses penggarapan lagu pun berbeda dari album sebelumnya,
kalo dulu nggak ada yang nyuruh
gue untuk ngerubah riff-riff lagu
yang sudah gue bikin, tapi
sekarang ini beda. Amri selalu
minta gue buat beberapa versi, nanti yang terbaik yang diambil.
Awalnya gue kesulitan, terutama
ketika harus menulis sebuah lagu
yang down tempo. Tapi karena
kesabaran produser dan memang
niat kami kuat untuk menyelesaikan album ini akhirnya
rampunglah Tentara Merah
Darah.

Siksakubur dikontrak oleh
Fast Youth Records yang
dikenal bukan sebagai label
metal. Bagaimana
ceritanya?


Awal 2008 gue dapet telpon dari
Yoga, pemilik Fast Youth, yang
menyatakan mau membawa SK
untuk melakukan show di Kuala
Lumpur, Malaysia. Akhirnya
terjadilah. Nah, setelah selesai show dia menyodorkan
penawaran untuk bekerjasama
dalam perilisan album baru SK.
Secara waktu itu SK memang lagi
jomblo alias nggak punya label,
jadi kami pelajari penawarannya. Karena kami nggak mau
terperosok kedua kalinya.
Ternyata kontraknya sehat dan
eksekusinya juga jelas. Kami
nggak peduli sama embel-embel
label ini atau itu. Buat apa juga dirilis label death metal kalo
treatment-nya di bawah
standar? Roadrunner Records
merilis band ska Kemuri aja
nggak jadi masalah kok. Yang
jelas Fast Youth menghargai kerja keras kami selama ini dan
itu sudah lebih dari cukup.
Lagipula Fast Youth kan merilis
band indie juga, bukan merilis
Wali atau ST 12 (Tertawa)

Mengapa di buklet CD
Tentara Merah Darah hanya
ada foto tiga personel
(Japra, Andre dan Prama)
yang tampil di rekaman
album ini?


Beberapa bulan sebelum masuk
studio Ewok menyatakan kalau
dia sibuk kerja di salah satu
studio musik di Jakarta Timur.
Jadi supaya lebih nyantai, ya
mending jadi additional aja kami pikir. Nggak harus ikut latihan
[yang waktu itu seminggu bisa
sampe 4 kali]. Nggak harus ikut
briefing dan lain-lain. Jadilah kami
jalan bertiga saja. Di studio
rekaman gue yang ngisi bass track-nya.

Selain kalian movie junkies,
apa yang menginspirasi
untuk mengambil cerita
kolosal film 300 sebagai
konsep album?


Mungkin karena "isi" dari film itu
yang bukan sekedar bunuh-
bunuhan tapi juga banyak yang
bisa diambil. Cara dia membentuk
karakter bangsanya pun unik.
Dan semua karakter dalam kisah ini punya kekuatan sendiri-
sendiri. Pokoknya menurut kami
cerita 300 itu sangat "METAL" in
every way (Tertawa).

Adakah hal-hal khusus yang
terkandung di dalam cerita
tersebut yang ingin Anda
sampaikan ke pendengar?


Oh ya ada...THIS IS SPARTA!!

Musik death metal
Siksakubur mengalami
perkembangan yang
signifikan, lebih melodius
danatmosferik. Selain 300, adakah band-band lain
mempengaruhi Anda selama
penggarapan musik?


Ada beberapa band yang gue
dengerin terus ketika masa
penggarapan album ini, seperti
Behemoth, Nile, Belphegor, Dream
Theater, Cannibal Corpse, Morbid
Angel, Hypocrisy dan Dissection. Dan iya, gue rasa band-band
tersebut sangat mempengaruhi
ide-ide gue saat itu.

Bagaimana dengan karakter
sound gitar Anda?


Karakter sound gitar gue rasa
sudah ada perkembangan
(Tertawa). Yah, belajar dari
kesalahan di album terdahulu.
Sekarang gue mempercayakan
efek Line 6 POD X3 Live. Dan didukung sama ampli Head Randall
Titan pakai sistem send/return.
Terus pakai microphone Numan.
Jadinya yang seperti elo denger
itu. Bagus atau nggaknya gue
nggak bisa nilai karena selera orang berbeda. Tapi yang jelas
saat ini gue puas dengan sound
gitar gue.

Sejak album pertama hingga album ke lima SK selalu menyisipkan kibor di satu atau beberapa lagu. Serta terdapat vokal latar clean di satu atau dua lagu. Dengan kata lain, style musik SK cukup berbeda dengan style mayoritas band death metal yang eksis di Indonesia. Tidak sedikit penggemar death metal menyayangkan hal tersebut, bahkan ada yang bilang SK sudah tidak murni death metal. Komentar Anda?

Oh ya? (Tertawa) Gue nggak
nyangka lho ada yang
menyayangkan hal tersebut. Dan
kami nggak peduli juga. Kami mau
bikin album dan musik yang kami
suka. Kami nggak masalah sama perbedaan. Lagipula masa sih
orang senang kalo semua band
death metal di negara ini
musiknya samaaaaaaa semua.
Semua vokalnya harus guttural
growl, semuanya slamming. Semuanya ultra hyperblast atau
semuanya old school atau
semuanya teknikal. And again
and again! (Tertawa) Tapi jujur
ya, mau dianggap death metal
murni ayo, mau dianggap death metal dangdut pun kami nggak
peduli. Mau dibilang death metal
nggak ngebut pun, we dont give
a damn (Tertawa) Yang penting,
menurut kami, Tentara Merah
Darah adalah album death metal. Lagipula dari dulu pun banyak
band yang eksplorasi lagunya
dengan keyboard atau instrumen
"non death metal" lainnya, kayak
Nocturnus (band death metal
Florida, AS -Red) misalnya, dan kalau mau dimundurin lagi ke era
thrash, Bulldozer pernah
eksplorasi pakai keyboard. Mau
dimundurin lagi, the mighty Iron
Maiden akhirnya pun eksplorasi
pakai keyboard. Tapi kembali lagi ke orang yang menilai, intinya
kalau nggak suka nggak usah
didengerin kan? (Tertawa) Gitu
aja kok repot.

By the way, SK sekarang terdiri atas 5 personel. Bagaimana menurut Anda tentang formasi baru ini, terutama 3 personil baru; Prama, Ewin dan Nyoman?Simple aja, menurut gue ini formasi SK yang paling ideal. Chemistry-nya dapet banget. Prama makin mateng mainnya, Nyoman dan Ewin pun udah nge- blend. Yah, dan yang pasti tingkat ke-"idiot"-an mereka juga setara dengan personel dan crew SK yang lain. Itu yang terpenting! (Tertawa)Anda pernah bilang, SK akan menggelar promo tour 14 kota selama Maret dan April nanti. Bisa diceritakan?Rencananya memang seperti itu dan bisa melakukan tur adalah salah satu cara promosi yang paling kami suka (Tertawa). Mudah-mudahan terealisasi semua 14 kota itu. Sejauh ini sudah ada beberapa kota yang confirmed. Dan mudah-mudahan kalau nggak ada halangan tur kali ini bisa sampai Papua. Semoga!Apakah SK sudah menjadi full-time band?Siksakubur is a full time passion! m/m/ sumber:Rollingstöne indonesia

Siapa Bilang Konser Metal Biang Rusuh?

artikel lama ,kembali saya terbitkan,tanpa edit. .


Metalheads Bandung menunjukkan bahwa mereka bisa tetap aman dan terkendali selama Konser Musik Metal yang diklaim Terbesar di Indonesia.

Bandung, Minggu pagi 28 Maret 2010, pemandangan di luar �lapangan Saparua Bandung didominasi oleh orang-orang yang berpakaian hitam dan hijau. Para pecinta musik metal yang mayoritas memakai baju hitam masih duduk-duduk di luar Lapangan Saparua, untuk merokok, sarapan pagi, atau menunggu teman mereka yang belum datang. Sedangkan ratusan aparat berpakaian hijau sudah melakukan apel pagi untuk persiapan acara konser.

Konser hari itu diberi judul “Konser Musik Metal terbesar di Indonesia”, tadinya akan digelar di Stadion Siliwangi tetapi gara- gara masalah perizinan akhirnya konser dipindahkan ke Lapangan Saparua. “Konser ini disebut Konser Musik Metal terbesar di Indonesia karena band–band yang tampil merupakan band metal besar yang semuanya berasal dari Indonesia,” ujar Fajar salah satu panitia acara ini. Tak tanggung-tanggung 600 orang aparat gabungan diturunkan untuk mengamankan konser ini. “Setelah tragedi AACC perizinan untuk membuat acara seperti ini sulit, makanya acara ini diharapkan menjadi pembuktian bahwa musik keras tidak selalu mengundang kisruh,” tambah Fajar.

Di sebuah warung kopi dekak tiket box, dua orang polisi bercengkerama.

“Saya sebenarnya suka sama musik-musik seperti ini, mereka itu bagus ko!” kata salah satu polisi yang pangkatnya lebih tinggi dari polisi lainnya di warung kopi itu.�

“Padahal mereka mempunyai prestasi yang bagus lo pak, Burgerkill itu sudah sering main di luar negeri,” kata saya ikut dalam perbincangan.

”Betul itu pak, saya heran kenapa band-band keras seperti ini selalu mengundang kerusuhan,” ujar si polisi.�

“Bukan musiknya yang mengundang kerusuhan tapi penonton-penonton yang menenggak minuman keraslah yang membuat pertunukkan menjadi rusuh,” timpal salah seorang petugas keamanan yang ada di warung kopi itu.�

Kira-kira pukul sepuluh pagi, acara dimulai. Tanpa basa-basi MC pun mengundang band pertama yaitu Daemons Damn. Band pengusung musik metal yang dimotori oleh vokalis perempuan bernama Uzi yang memegang posisi growl dan scream, serta didukung personil lainnya; Abazz (drums), Dimas (gitar), Riky (bass) sukses menjadi penggebrak sebagai band pembuka konser ini. Double pedal yang menderu, riff-riff gitar yang berkecepatan tinggi dan meraung-raung dapat memicu adrenalin para penonton. Rupanya frontwoman band ini begitu enerjik dan atraktif hingga melakukan ggerakan memutar-mutar kepala dan growl yang menggelegar dan memancing penonton untuk berolahraga pagi dengan berpogo.�

Sebelum Forgotten naik panggung MC mengingatkan penonton yang baru datang untuk masuk dengan selamat dan pulang dengan selamat. Para personil Forgotten akhirnya naik panggung dengan intro membawakan lagu “Smoke On The Water” milik Deep Purple tanpa disertai sang vokalis. Ketika Addy Gembel sang vokalis datang penonton pun berteriak histeris. Rupanya vokalis Forgotten ini mempunyai daya tarik tesendiri bagi penonton. Lagu pertama �yang mereka bawakan diambil dari album pertama mereka Obsesi Mati. �Mereka memicu penonton untuk lebih liar melakukan aksi pogo. “Saparua adalah tempat yang bersejarah bagi kami, Saparua adalah tempat yang membesarkan kami, mohon jaga ketertibannya,” ujar Addy Gembel.�

Addy Gembel cs begitu apik membawakan hit Forgotten seperti “Perang Demi Setan” dan “Tiga Angka Enam” yang membuat massa yang datang kompak ber-sing along. Sebelum melanjutkan aksinya Addy Gembel
sedikit berorasi mengenai kota Bandung. “Katanya mau adi kota religius tapi malah berlomba- lomba membangun mall, emangnya kita mau beribadah di mall,” katanya.�

Di tiga lagu pamungkas Forgotten tampil tanpa jeda yaitu “Kegelapan itu Bernyawa,” “Serapah” yang ada di dalam kompilasi Panceg Dina Galur bersama band-band Ujung Berug lainnya dan ditutup oleh “Tuhan Telah Mati” yang berisi lengkingan dari perpaduan dua solo gitar secara bersamaan.�

Usai Forgotten, tanpa dikasih waktu untuk bernafas, penonton yang jumlahnya terus bertambah langsung disuguhi penampilan grup hardcore veteran yang sudah cukup lama tidak tampil, Savour of Filth. Namun Savour of Filth tidak dapat menandingi energi band sebelumnya sehingga
penonton hanya terdiam. Savour of Filth menutup penampilannya dengan membawakan lagu dari band hardcore lawas Sick of it All yang berjudul “Built to Last” dan lagu mereka sendiri, “Bersatu untuk Kalian Semua”

Usai Savor of Filith, Otong Koil akhirnya muncul dengan membagi-bagikan air mineral kepada penonton. Koil mampu memancing penonton memenuhi sisi kiri yang dipenuhi oleh lumpur. “Hidup Kembali” merupakan lagu pembuka dari Koil.�

� “Koil bukan band metal cuma kita ini sok-sok metal aja,” Otong berkelakar. Pada lagu ketiga “Aku Lupa Aku Luka” Otong maju ke depan panggung lalu membantingkan gitarnya lantas turun dari panggung sambil terus menerus membantingkan gitarnya ke lumpur hingga patah. Usai melakukan aksi tersebut Otong menjelaskan, “Itu merupakan contoh adegan petani sedang mencangkul sawah,” katanya.�

“Apa yang Kita Percaya” merupakan lagu berikutnya yang dibawakan Koil. Gitar yang sudah patah dicoba untuk disambung kembali sambil pura-pura dimainkan kembali oleh Otong. Dalam lagu “Kenyataan dalam Dunia Fantasi” Otong bernyanyi sambil berlenggak-lenggok centil. Koil menutup penampilannya dengan membawakan lagu baru yang berjudul “Rindu Anak Metal” sekilas lagu ini terdengar seperti menyindir lagu-lagu cinta yang banyak beredar dewasa ini.

Sekarang giliran Tcukimay yang menguasai panggung. Tcukimay adalah salah satu band Thrash Punk yang berasal dari kota bandung. Band yang digawangi Cuky cs ini seolah mengembalikan atmosfer panggung di Saparua tahun 90-an. Tcukimay mampu membuat penonton menggila sehingga water cannon pun disemburkan. Alhasil penonton berpogo sambil bermandikan lumpur ala Woodstock.

Dengan dandanan rambut mohawk dicat warna-warni plus berbagai aksesoris spike, Tcukimay membuat massa berpogo tanpa henti. Bahkan, aksi kejutan ditampilkan saat lagu “Anjing Tirani” turut dibawakan bersama Amenk dari Disinfected. Sebelum mengakhiri Cuky berkata “Ayo jalin terus persaudaraan, mau metal, mau punk rock, mau hardcore terserah, kita ini sama!”
Bulir-bulir air hujan mulai berjatuhan ketika Jasad akan tampil. Mereka memasang dua buah kujang – senjata pusaka sunda – dan miniatur kecapi di depan panggung. Vokalis Iman datang memakai pakaian batik Sunda dan memakai celana pangsi. Lagu pertama Iman memainkan sebuah alat musik tradisional Sunda yang hampir punah yang bernama tarawangsa – kini hanya tersisa 40 buah lagi di Cikalong -- �dan sebuah gitar yang hanya diletakkan di atas panggung. Aura mistis Sunda kuno pun terasa ketika Iman hanya berucap “Hutang getih [darah] dibayar getih, hutang nyawa dibayar nyawa,” sebuah filosofi Sunda kuno menurut penjelasan Iman. Lagu kedua pun langsung menggempur Lapangan Saparua. Musik Jasad terdengar seperti gaungan halilintar yang mengiringi hujan yang kian deras turun. Dengan memakai bahasa Sunda Iman berkata, “Tong era make batik, tong baju hideung wae nu dipake, da batik oge bisa dipake memetalan [jangan malu make batik, jangan baju item melulu yang dipake, batik juga bisa dipake buat acara metal.” Suara Iman kadang terdengar growl berat seperti singa namun bisa terdengar seperti desis ular. Lagu “Jemput Ajal” dan “Mulih Ka Jati Mulang Ka Asal” yang berisi distorsi gitar yang berat dan Double pedal yang bergemuruh membawa penonton ke dalam aura kegelapan.

Hujan yang kian deras tak mampu melemahkan semangat penonton untuk menyaksikan pertujukkan band selanjutnya yakni Godless Symptoms. Sang vokalis Barus bahkan rela berhujan-hujanan untuk menghibur para penggemarnya. Namun usahanya tak sia sia, penonton asik berpogo sambil sesekali nekat melakukan crowd surfing meskipun dilarang polisi dan larut dalam �sound yang dapat memicu adrenalin lewat band yang meroket oleh hit single “Kerajaan Ilusi.”�

Burgerkill didaulat sebagai penutup klimaksnya konser ini. Ribuan Begundal – fans Burgerkil l—yang sudah sedari siang menyesaki lapangan langsung memepet ke arah panggung. Usai membawakan satu lagu, panitia naik ke panggung. Semua langsung terdiam, ternyata informasi yang disampaikan adalah pintu tiket akan diloss dan semua yang hadir bersorak girang. Tiket yang tadinya dibatasi untuk alasan keamanan oleh pihak kepolisian sekarang malah dihargai gratis oleh panitia.
Harga tiket acara ini adalah Rp 25 ribu. Keputusan ini diambil karena banyaknya penonton yang tidak bisa masuk ke acara dan didukung keadaan aman selama acara ini berlangsung. Kira-kira tiga ribuan penonton akhirnya memadati lapangan Saparua.

Raut muka para personil Burgerkill terlihat bahagia dan terharu bahwa acara ini dipadati oleh ribuan manusia tetapi tetap aman dan terkendali. Akhirnya dengan penuh semangat mereka membawakan lagu-lagu hit mereka seperti “Penjara Batin”, “Under The Scarf” - lagu yang didedikasikan untuk alm. Ivan Scumbag, dan “Tiga Titik Hitam”. Sebelum lagu terakhir “Atur Aku", vokalis Vicky berkata dengan semangat, “Acara ini menandakan komunitas kita yang besar dan akan semakin besar!” SUMBER : Rollingstone indonesia

Selasa, 26 April 2011

Pestilence – Doctrine (2011)



Origin:Netherlands
Genre:Death Metal

Tracklist:
1. The Predication (intro)
2. Amgod
3. Doctrine
4. Salvation
5. Dissolve
6. Absolution
7. Sinister
8. Divinity
9. Deception
10. Malignant
11. Confusion


Panceg Dina Jalur Homeless Crew Ujungberung Rebels



Ujungberung adalah sebuah kota
kecamatan di Bandung bagian
paling timur, terdapat di
ketinggian 668 m di atas
permukaan laut, berbatasan
dengan Kecamatan Cibiru di timur, Kecamatan Arcamanik di
barat, Kecamatan Cilengkrang
Kabupaten Bandung di utara,
dan Kecamatan Arcamanik di
Selatan. Luasnya 1.035,411 Ha,
dengan jumlah penduduk 67.144 jiwa. Sejak dulu, Ujungberung
terkenal sangat kental dengan
seni tradisionalnya, terutama
seni bela diri benjang, pencak
silat, angklung, bengberokan,
dan kacapi suling.

Kultur kesenian rupanya tak
lekang dari generasi muda
Ujungberung walau Ujungberung
kemudian dibom oleh kultur
industri. Daya eksplorasi kesenian
yang tinggi membuat tipikal seniman-seniman muda
Ujungberung terbuka terhadap
segala pengaruh kesenian. Salah
satu yang kemudian berkembang
pesat di Ujungberung selain seni
tradisional adalah musik rock/ metal. Berbicara mengenai hasrat
musik ini, focus kita tentu saja
akan tertuju pada komunitas
metal tertua dan terkuat,
Ujungberung Rebels.

Dapat dianggap, Kang Koeple
(kakak Yayat-produser
Burgerkill) dan Kang Bey (kakak
Dani-Jasad) adalah generasi awal
pemain band rock di
Ujungberung. Pertengahan tahun 1980an hingga awal 1990an,
mereka memainkan lagu-lagu
rock semacam Deep Purple, Led
Zeppelin, Queen, dan Iron Maiden
selain juga menciptakan lagu
sendiri. Era ini kultur panggung yang berkembang Ujungberung,
dan juga di Bandung, adalah
kultur festival. Band tandang-
tanding di sebuah festival musik
dan band yang menang akan
masuk dapur rekaman. Kita mungkin masih ingat Rudal Rock
Band, salah satu band rock yang
lahir dan sukses dari kultur ini— dan kemudia mengispirasi banyak
anak muda untuk emmainkan
mwtal ayng dari hari ke hari
semakin kencang saja.

Tahun 1990 di Ujungberung
misalnya, Yayat mendirikan
Orthodox bersama Dani, Agus,
dan Andris. Orthodox memainkan
Sepultura album Morbid Vision
dan Schizophrenia. Sementara itu di Ujungberung sebelah barat,
Sukaasih, berdiri Funeral dan
Necromancy. Funeral digawangi
Uwo, Agus, Iput, dan Aam.
Mereka memainkan lagu-lagu
Sepultura, Napalm Death, Terrorizer, dan lagu-lagusendiri.
Sementara itu, Necromancy— Dinan, Oje, Punky, Andre, Boy— memainkan lagu-lagu Carcass dan
Megadeth, selain juga menggeber
lagu-lagu sendiri. Di Ujungberung
sebelah timur, tepatnya di
daerah Cilengkrang I,
Tirtawening, berdiri Jasad yang digawangi Yulli, Tito, Hendrik, Ayi.
Mereka membawakan lagu-lagu
Metallica dan Sepultura.
Sementara itu, di Cilengkrang II
kawasan Manglayang, berdiri
band Monster yang membawakan heavy metal ciptaan sendiri
dengan motor gitaris Ikin,
didukung Yadi, Abo, Yordan,
Kenco, dan Kimung.

Yang unik, perkenalan para
pionir ini berawal dari tren anak
muda saat itu : main brik-brikan.
Dinan (Necromancy) pertama kali
kenal dengan Uwo-Agus (Funeral)
dari jamming brik-brikan. Pun di kawasan Manglayang. Para
personil Monster adalah para
pecandu brik-brikan. Mereka
berbincang mengenai musik,
saling tukar informasi, dan
akhirnya bertemu, membuat band, dan membangun komunitas.
Selain brik-brikan, faktor kawan
sesekolah juga menjadi stimulan
terbentuknya sebuah band. SMP
1 Ujungberung—kini SMP 8 Bandung—menyumbangkan Toxic —Addy-Ferly-Cecep-Kudung— yang merupakan cikal bakal dari
Forgotten. Band anak-anak SMP
ini berdiri sekitar tahun 1991
atau 1992. Addy kita kenal
sebagai vokalis Forgotten.
Sementara Ferly adalah gitaris Jasad sekarang. Belum lagi band-
band di SMA 1 Uungberung—kini SMA 24 Bandung—yang tak tercatatkan saking banyaknya.

Di antara band-band tersebut,
band yang berhasil membangun
jaringan pertemanan yang baik
adalah Funeral dan Necromancy.
Bersama kawan-kawan sesama
penggila musik ekstrim dari seantero Bandung, mereka
berkumpul di lantai 3 Bandung
Indah Plaza (BIP) dan membentuk
kelompok yang mereka namakan
Bandung Death Brutality Area
atau sering mereka sinfkat Badebah. Selain Funeral dan
Necromancy, tercatat band Voila
dan The Chronic yang juga
termasuk ke dalam komunitas
Badebah. Nama Badebah juga
kemduian diadopsi menjadi sebuah program siaran di Radio
Salam Rama Dwihasta yang
dibawakan oleh Agung, Dinan,
Uwo, Agus, dan Iput di Sukaasih,
Ujungberung, tahun 1992.
Program Badebah memutarkan lagu-lagu ekstrim, dari thrash
metal, crossover, hingga death
metal, dan grindcore—yang saat itu tentu masih asing di tengah
dominasi hard rock, heavy metal,
atau speed metal.
Homeless Crew
Kultur festival yang dirasa
kurang bersahabat membuat gerah segelintir musisi muda.
Dalam festival mereka harus
memenuhui banyak syarat yang
intinya adalah sama : menuntut
band untuk menampilkan wajah
sama, bermanis muka agar menang di depan sponsor atau
produser. Hal itu memangkas
semangat ekspresi rock/metal
juga semangat terdalam dan
manusiawi dalam diri seorang
seniman untuk berkarya. Dengan kesadaran baru itu gelintiran
musisi muda Ujungberung maju
dan merangsek jalanan.

Di saat yang sama, generasi baru
di bawah anak-anak Badebah
mulai berkumpul dan membentuk
kelompok pecinta metal ekstrim
semacam Badebah. Mereka
menamakan diri Bandung Lunatic Underground (BLU) yang didirikan
secara kolektif oleh Ipunk, Romy,
Gatot, Yayat, Dani, Bangke, dan
lain-lain. Seperti halnya Badebah,
BLU menampung banyak hasrat
music dari metal, hardcore, hingga punk. Di bawah BLU,
pengembangan jaringan
pertemanan para pecinta metal
semakin meluas saja. Music metal
ekstrim juga semakin ramai
dengan terbukanya GOR Saparua untuk pergeralan-pergelaran
music ekstrim.

Di Ujungberung sendiri,
perkembangan musik ekstrim
didukung oleh Studio Palapa,
sebuah studio music milik Kang
Memet yang dikelola oleh duet
maut Yayat dan Dani. Studio ini kemudian menjadi kawah
candradimuka band-band
Ujungberung hingga melahirkan
band-band besar, kru-kru yang
solid, dan musisi-musisi jempolan.
Studio Palapa juga yang kemudian melahirkan rilisan-
rilisan kaset pertama di
Indonesia. Mereka merekam lagu-
lagu dengan biaya sendiri,
mendistribusikan sendiri,
melakukan semua dengan spirit Do It Yourself. Dari sepuluh band
independen di Indonesia yang
tercatat Majalah Hai tahun 1996,
tiga di antaranya berasal dari
Ujungberung. Mereka adalah
Sonic Torment, Jasad, dan Sacrilegious. Label dan
perusahaan rekaman yang
mereka kibarkan adalah Palapa
Records.

Sayang dinamika ini berbanding
terbalik dengan BLU. Tahun 1994,
organisasi pecinta music ekstrim
ini terpecah ketika scene metal
semakin ramai. Setidaknya,
kelompok ini terbagi tiga, yaitu Black Mass yang terdiri dari
anak-anak black metal, Grind
Ultimatum yang terdiri dari anak-
anak grindcore, dan sisanya,
kebanyakan anak-anak
Ujungberung yang lebih terbuka dan inklusif dalam mengapresiasi
music, membentuk Extreme Noise
Grinding (ENG) awal tahun 1995.
Yayat adalah tokoh sentral ENG. Propaganda awal ENG ada tiga,
yaitu membuat media komunitas
musik metal bawahtanah,
membuat pergelaran music metal
sendiri, dan mebentuk kru yang
mendukung performa band-band Ujungberung. Manifestasi dari
propaganda media adalah
berdirinya Revograms Zine yang
dibentuk oleh Dinan pada April
1995 dengan tim redaksi yang
terdiri dari Ivan, Kimung, Yayat, Dandan, Sule, Gatot. Manifestasi
dari propaganda pergelaran
sendiri band-band Ujungberung
adalah digelarnya acara Bandung
Berisik Demo Tour yang lalu
dikenal sebagai Bandung Berisik I. Di acara ini lima belas band
Ujungberung unjuk gigi, ditambah
bintang tamu Insanity dari
Jakarta. Tahun 2004 kelak,
bandung Berisik IV di Stadion
Persib dicatat oleh Time Asia sebagai pergelaran music
bawahtanah terbesar di Asia
setelah berhasil menyedot
audiens sebanyak 25.000
metalhead dari seluruh Indonesia.

Sementara itu, manifestasi dari
propaganda kru band adalah
dengan terbentuknya Homeless
Crew. Ini merupakan kelompok
musisi-musisi muda yang aktif
mempelajari seluk beluk sound system dan teknis pergelaran
sebuah band dengan cara
belajanr langsung menjadi kru
band kawan-kawannya. Pada
gilirannya, Homeless Crew tak
Cuma berperan sebagai kru yang vital bagi sebuha band, tapi juga
menjadi gaya hidup anti-mapan
ala anak-anak Ujungberung yang
menolak untuk “berumah”. Gaya hidup anti-mapan ini bukan
hanya ada di alam pikiran anak-
anak Ujungberung, namun benar-
benar mereka amalkan dengan
keluar rumah, bergabung dengan
kelompok mereka untuk tinggal bersama di jalanan. Para
pencetus Homeless Crew adalah
Yayat, Ivan Scumbag, Kimung,
Addy Gembel, dan tentu saja
sang radikal, Dinan.

Ujungberung Rebels
Antara tahun 1995 hingga 1997,
Homeless Crew semakin
berkembang pesat. Setidaknya
ada dua puluh band berdesakan
hidup di jalanan Ujungberung dengan semangat juang yang
tinggi. Seiring dengan
penggarapan Bandung Berisik II,
Homeless Crew berencana
menghimpun kekuatan band-
band mereka ke dalam satu kompilasi. Proyek ini dikomandoi
sendiri oleh Yayat sehabis
bandung Berisik II usai digelar.
Ada enam belas band ikut serta
mendukung kompilasi ini dan
membiayai rekaman mereka secara swadaya. Mereka
kemudian menamai kompilasi
mereka Ujungberung Rebels.
Istilah “rebels” digunakan karena apa yang mereka
lakukan pada saat itu adalah
memang sebuah pemberontakan.
Bukan hanya pemberontakan
pada scene music secara umum
yang sangat didominasi music pop, tapi juga pemberontakan
kepada pengkotak-kotakan
music yang berujung pada
perpecahan genre di scene
bawahtanah Bandung. Melalui
kompilasi ini, Homeless Crew bagai ingin menunjukkan wajah
keragaman music yang ada di
Ujugnberung. Dan memang tak
cuma death metal dan grindcore
hadir dalam kompilasi ini. Punk,
gothic, dan hardcore ikut mewarnai kompilasi ini.

Kompilasi ini akhirnya dirilis
Independen Records dengan
tajuk Independen Rebels dengan
nilai transaksi empat belas juta
rupiah pada tahun 1998. Namun
demikian, walau nama “Ujungberung Rebels” tak jadi dijadikan judul kompilasi, namun
namanya tak lantas pudar.
Ujungberung Rebels malah
kemudian menjadi identitas baru
bagi komunitas musik metal
bawahtanah Ujungberung, berdampingan dengan nama
Homeless Crew. Masa itu, jika
memanggil Ujungberung Rebels
maka identifikasi scene akan
langsung tertuju pada Homeless
Crew.

Dari keuntungan kompilasi
Independen Rebels, Yayat
kemudian mendirikan sebuah
distro yang menampung hasil
kreativitas anak-anak
Ujungberung dan Indonesia pada umumnya, Distro tersebut ia
namai Rebellion, bertempat di jl.
Rumah Sakit Ujungberung.
Kabarnya, Rebellion adalah distro
kedua di Indonesia setelah
Reverse Outfit. Belakangan,Rebellion pindah,
bersinergi dengan Pisces Studio.
Pisces adalah studio milik Dandan
ketika Kang Memet akhirnya
memutuskan menjual alat-alat
band Studio Palapa, Februari 1997.

Sementara dinamika rilisan kaset
menggila, begitu juga dengan
zine dan media. Zine kedua
setelah Revogram adalah
Ujungberung Update. Mereka
yang berada di balik Ujungberung Update adalah Addy Gembel,
Amenk, dan Sule. Merekalah yang
kemudian membuat istilah tren
saat itu : Gogon, singkatan dari
“Gosip-gosip Underground”. Setelah Ujungberung Update,
kemudian lahir Crypt from the
Abyss yang diasuh oleh Opick
Dead, gitaris Sacrilegious saat
itu, Loud n’ Freaks yang diasuh oleh Toto, penabuh drum
Burgerkill, dan The Evening Sun
yang diasuh Dandan sang
drummer Jasad. Belakangan,
tahun 2000an, Toto bersinergi
dengan Eben membuat zine NuNoise, salah satu zine progresif
yang mengkover pergerakan
musik termutakhir. Selain itu,
Toto juga secara intens
menerbitkan newsletter bernama
Pointless selama tahun 2003 hingga 2005. Zine lainnya yang
fenomenal dan terus bergerak
hingga kini adalah Rottrevore
yang diasuh oleh Rio serta Ferly,
gitaris Jasad, merupakan media
propaganda musik metal. Belakangan, Rottrevore
berkembang menjadi perusahaan
rekaman khusus musik metal.
Rottrevore dimiliki grinder
Jakarta, Rio, tapi dikelola oleh
anak-anak Ujungberung Rebels. Baby Riots War Machine Squad,
Grinding Punk Corporation,
Cicaheum Hell Park

Baby Riots adalah sebutan anak-
anak Ujungberung Rebels bagi
pasukan tempur bentukan
Butchex, pentolan band The
Cruels dan Mesin Tempur. Tahun
1999 Ujungberung Rebels berkembang semakin pesat
secara kualitas, kuantitas, dan
totalitas. Saat itu juga mulai
terasa konflik dan gesekan
antara para metalhead kita
dengan masyarakat sekitar. Ujungberung yang berkultur
indsutri dan merupakan daerah
peralihan yang tanggung— kampung bukan, kotapun bukan
—melahirkan banyak juga komunitas lain yang serba
tanggung dan kemudian lazim
kita namakan preman. Mereka
kurang senang melihat anak-
anak Ujungberung dengan segala
totalitasnya, wara-wiri di jalanan Ujungberung. Bentrokan dengan
preman-preman pun semakin
sering terjadi. Tak hanya itu,
perkembangan di scene music
yang semakin diwarnai
premanisme juga semakin memperkokoh Homeless Crew
Ujungberung Rebels untuk
berbuat sesuatu. Dan sesuatu itu
adalah dibentuknya Baby Riots
War Machine Squad.

Baby Riots War Machine Squad
adalah pasukan tempur
Ujungberung Rebels yang setia
membela kepentingan para
“presiden metal” Ujungberung Rebels. Menurut Butchex, sang
panglima, Baby Riots adalah
campuran anak-anak jalanan
Cicukang dan Cicaheum yang
barbar dan tak memiliki hasrat
lain selain bertempur. Baby Riots akan segera keluar sarang jika
ada yang mengganggu para
pionir Ujungberung. Untuk
menjadi anggotanya tak mudah.
Mereka akan dipantau oleh
Butchex, sang komandan, dilihat dari heroisme mereka membela
Ujungberung dan bila sudah
terbukti mereka akan diberi
kalung silet sebagai simbol
keanggotaannya. Namun
demikian, karena semakin liar dan tak terkendali, Butchex
kemudian membubarkan Baby
Riots.

Di saat yang bersamaan, gairah
bermusik Butchex juga semakin
membara ketika akhirnya
menemukan hasrat musik yang
selama ini terus ia bayangkan.
Hasrat itu ia dapatkan ketika bandnya, The Cruels, digarap
oleh musisi-musisi metal semacam
Dani Jasad, OpikDead, dan
Komenk. Bersama tiga metalhead
inilah Butchex merumuskan music
punk baru yang kental dengan aura metal dan grindcore, hingga
akhirnya lahirlahalbum The
Cruels, Hollow Horror tahun 2001.
Dalam sampul bagian dalamnya,
The Cruels menuliskan
propaganda musik mereka “It’ s a punk grinding time!” Secara tidak langsung, propaganda itu
adalah proklamasi berdirinya sel
baru yang tak kalah bahaya dari
Ujugnberung Rebels, Grinding
Punk Corporation (GPC).
Setidaknya ada enam band yang menurut Butchex hadir di awal
berdirinya GPC. Mereka adalah
The Cruels, Bloodgush, Sedusa,
Caravan of Anaconda,
Pemberontak, dan Six Men from
Egypt. Segera saja GPC berkembang ke seantero scene.
GPC kemudian berkoalisi dengan
Saraf Timur Squad Cicalengka
dengan ikon-ikonnya seperti
Tikus Kampung dan Punklung.

Ketika akhirnya Butchex bosan
bermusik, ia membunuh bosan itu
dengan bermain skateboard. Di
scene ini, ia juga lalu membentuk
sebuah kelompok pecinta
skateboard yang kerap bermain skateboard di belakang Terminal
Cicaheum Bandung sekitar tahun
2002 atau 2003. Karena begitu
rawan bentrokan dengan
preman-preman terminal serta
begitu jalanannya tempat para skater ini bermain-main, Butchex
menamakan kelompoknya,
Cicaheum Hell Park (CHP).
Belakangan, CHP juga sering
berkolaborasi dengan Neverland
Sakteboard yang terdiri dari bocah-bocan skater asuhan Pei
dari Ujugnberung melalui program
kampanye bermain lima belas
menit bersama anak-anak dalam
satu hari, Never Grow Up.

Bandung Death Metal Syndicate
dan Sunda Underground
Pertengahan tahun 2000an,
scene musik Indoensia
dibombardir oleh emocore. Hampir
semua panggung pergelaran didominasi oleh hasrat music ini,
bagaikan tak pernah akan ada
lagi panggung untuk death metal.
Prihatin dengan fenimena ini,
para pionir Ujungberung Rebels
semakin intens membincangkan fenomena yang memprihatinkan
ini. Death emtal akan tenggelam
jika para pionir diam saja
menandangi kudeta panggung
emocore atas detah metal itu.
Maka ketika tak ada lagi panggung dari orang lain untuk
death metal, para pionir sepakat
untuk mulai memikirkan
bagaimana menggarap panggung
sendiri yang mementaskan hanya
death metal saja. Tiga pionir yang kemudian mengeksekusi
hasrat tersebut adalah Man,
Amenk, dan Okid. Mereka
sepakat menggarap Bandung
Death Fest tahun 2006 yang
mementaskan band-band death metal Ujungberung, Bandung, dan
Indonesia. Bandung Death Fest
2006 digelar dengan sukses di
bawah kerja sebuah kolektif
bernama Homeless Grind.

Tahun 2007, ketika proses
persiapan bandung Death Fest II,
Homeless Grind berganti nama
menjadi Bandung Death Metal
Syndicate (BDMS). Ada beberapa
perubahan penting yang patut dicatat di sini. Yangpaling jelas
adalah komitmen anak-anak
Ujugnebrung Rebels yang
semakin tinggi terhadap
kebudayaan tradisional, dalam
hal ini Kasundaan. Man saat itu membuat logo BDMS bergambar
dua kujang yang saling bersilang
dengan semboyan yang
fenomenal Panceg Dina Galur.
Komitmen Kasundaan juga
dibuktikan dengan dimasukkannya pencak silat dan
debus sebagai pertunjukan plus
dalam Bandung Death Fest II.
Saat ini pula BDMS mulai kenal
dengan Kang Utun, salah satu
aktivis lingkungan hidup dan Kasundaan yang kemudian
semakin membukakan gerbang
adat kepada para metalhead
muda kita.

Masa inilah Ujungberung Rebels
semakin dekat dengan kelompok-
kelompok Kasundaan di Bandung.
Mereka semakin sering
menghadiri berbagai acara adat
dari pabaru Sunda, Rarajahan, Tumpek Kaliwon, atau hanya
kongkow-kongkow santai
membincangkan berbagai hal
ngalor-ngidul. Atas
keikutsertaannya dalam berbagai
acara adat, Ujungberung Rebels kemudian sering dijuluki juga
sebagai Kelompok Kampung Adat
Sunda Underground. Komitmen
Kasundaan semakin menyala-
nyala ketika akhirnya berdiri
Karinding Attack yang beranggotakan Man, Amenk,
Kimung, Jawish, Gustavo, Ari, dan
Kimo selain juga Kang Utun, mang
Engkus, dan kang Hendra yang
mewakili kelompok adat
Kasundaan.

Di sisi lain BDMS semakin nyata
menunjukkan taringnya ketika
berhasil dengan mansi dan
kreatif berkolaborasi dengan
pihak tentara ketika menggelar
Bandung Death Fest III 9 Agustus 2008 yang memapu menyedot
penonton hingga 15.000
metalhead muda. Fenomena yang
sama juga terulang tanggal 17
Oktober 2009 ketika BDMS
menggarap Bandung Death Fest IV kembali di Lapangan Yon Zipur.
Patut dicatat pula, dua
pergelaran terakhir itu adalah
kolaborasi Ujungberung Rebels
dengan scene komunitaas kreatif
bandung yang termaktub dalam pergelaran bersama Helarfest
2008 dan Helarfest 2009.

Begundal Hell Club dan Bandung
Oral History
Begundal Hell Club (BHC) berdiri
tahun 2007, merupakan fansclub
Burgerkill. Sejak berdirinya, klub
ini mendapat sambutan yang sangat baik dari khalayak. Kini
BHC tak hanya menyebar di
Indonesia, tapi juga hingga
Australia. BHC Australia juga yang
berperan besar ketika Burgerkill
akhirnya bisa tur di Australia barat awal tahun 2008. Eben
sang kreator dan otak dari BHC
berperan besar dalam
mengembangkan klub ini.
Berbagai acara beraura
pendidikan komunitas telah digelar BHC sepanjang usia
mereka yang baru seumur
jagung. Kini BHC sedang
berancang-ancang untuk
membuat pergelaran khusus BHC
dan juga kompilasi band-band BHC.

Aroma pendidikan komunitas
yang lebih kental tercium dari
kelompok riset Bandung Oral
History (BOH). Kelompok ini berdiri
Desember 2008, diprakarsai oleh
Kimung dan Gustaff, mengkhususkan diri
berkecimpung di riset sejarah
Kota Bandung dengan metode
sejarah lisan sebagai metode
utama. Sejak berdiri, hingga kini,
setidaknya ada dua puluh draft outline riset yang telah
dihasilkan para periset. Beberapa
draft tersebut adalah riset
tentang GOR Saparua, Viking
Persib, kiprah para wanita di
scene bawahtanah Bandung, kiprah para orang tua di scene
bawahtanah Bandung, sejarah
Ripple, fenomena CD bajakan di
Kota Bandung, gambaran umum
komunitas kreatif di Bandung,
sejarah kusen keluarga, biografi Priston sang anak jalanan,
sejarah Benajng, sejarah
Tajimalela di SMAN 1 Cileunyi,
sejarah Kopi Aroma, sejarah
Persib, sejarah band Sonic
Torment, sejarah band Homicide, sejarah GMR FM, sejarah
bandung eath Metal Syndicate,
kiprah Tiger Association Bandung,
fenomena All Star di scene indie
Bandung, serta riset mengenai
Ujungberung Rebels.

Bulan Februari 2009, BOH
menggelar pameran hasil riset
bersama mereka mengenai
kompilasi-kompialsi yang ada di
Kota bandung anatar tahun
1995 hingga 2008. Setidaknya ada tujuh puluh enam kompilasi
yang mereka riset berdasarkan
bimbingan Idhar dan Kimung. Kini
setidaknya ada dua belas riset
berkaitan dengan wajah Kota
Bandung yang terus dilakukan oleh para periset muda BOH. Hasil
riset BOH dipresentasikan
tanggal 29 Oktober 2009 di
Commonroom dalam acara Nu
Substance Festival yang juga
termaktub ke dalam Helarfest 2009.

Ekonomi Kreatif Ujungberung
Rebels
Dinamika pergerakan
Ujungberung Rebels semakin
menggurita saja dari hari ke hari.
Kini setidaknya ada tiga lahan garapan ekonomi kreatif yang
berkembang di komunitas
Ujungberung Rebels, yaitu
fesyen, rekaman, dan literasi.
Yang paling subur adalah indsutri
fesyen. Setidaknya ada enam industri fesyen yang digagas
para pentolan Ujungberung
Rebels, mulai dari Media Graphic
dan distro Chronic Rock yang
dijalankan Eben, Distribute yang
dijalankan Pey, Reek yang dijalankan Ferly dan Man, Melted
yang dijalankan Amenk dan
Andris, CV Mus yang dijalankan
Mbie, serta Scumbag Premium
Throath yang ini diteruskan Erick
sepeninggal Ivan.

Di bidang industri rekaman,
Ujungberung memiliki dua
perusahaan rekaman yang
sangat dinamis, Rottrevore
Records yang dijalankan Rio dan
Ferly serta Revolt! Records yang dijalankan Eben. Rottrevore
bahkan memiliki media literasi
berupa majalah metal kencang
bernama Rottrevore Magazine.
Pentolan Ujungberung lainnya
yang aktif di dunia literasi adalah Iit dengan toko buku Omuniuum-
nya serta Kimung dengan zine
MinorBacaanKecil dan penerbitan
Minor Books yang menerbitkan
biografi Ivan, Myself : Scumbag
Beyond Life and Death, sebuah buku fenomenal, bagian dari
trilogi sejarah Ujungberung
Rebels dan Bandung
Underground.

Tentu selain tiga lahan garapan
tersebut masih banyak yang
lainnya seperti bisnis warnet
yang dikelola Kudung atau toko
musik atau sentra kuliner. Semua
lahan garapan pentolan-pentolan anak-anak Ujungberung Rebels
tersebut jelas membuka lebar
perbaikan perekonomian minimal
di kalangan internal Ujungberung
Rebels sendiri, maksimal ya… mungkin membayarkan hutang
Indonesia raya yang bejibun itu.

Segala pencapaian itu tak
datang dengan sendirinya. Segala
datang bersama daya konsistensi
yang sangat tinggi dan idealisme
yang teguh digenggam satu
tangan, sementara tangan yang lain menghajar jalanan dengan
senjata kreativitas. Tapi kunci
dari segalanya adalah keteguhan
prinsip. Panceg dina galur, tidak
gamang menghadapi perubahan.
Membaca segala perubahan sebagai kulit saja bukan sebuah
inti, sehingga ketika harus
menyesuaikan diri dengan
perubahan tak lantas kehilangan
diri tenggelam dalam euforia di
permukaan.

Segala pencapaian itu juga harus
dikelola dengan sinergi yang
positif di antara lahan-lahan
garapan kreativitas sehingga
akan terus berkembang dan
pada gilirannya menyumbangkan hal positif bagi masyarakat
kebanyakan. Sebuah sentra
bisnis dan pusat pengembangan
budaya di Ujungberung pasti
akan menjadi wadah yang
menampung segala aspirasi dan hasil kreativitas mereka menuju
totalitas yang paling maksimal.
Mininal gedung konser yang di
dalamnya terdapat juga youth
center, dan pusat dokumentasi
dan pengembangan riset sosial budaya yang memadai.
Berangan-angan? Tidak juga!
Panceg dina galur!

*Penulis adalah musisi, editor zine
Minor bacaan Kecil

Sumber :Rolingstone Indonesia

Kisah di Balik Kesuksesan Tur Konser Death Vomit di Australia



Death Vomit, pionir deathmetal
Yogyakarta melakukan tur luar
negeri pertama sekaligus merilis
ulang albumnya di negeri
Kangguru belum lama ini. Ditemui
di studionya di kawasan utara Yogyakarta, Death Vomit
menceritakan bagaimana tur
Australia membuat mereka
seperti belajar bermusik dari nol
lagi. Tur ini berawal dari
percakapan sederhana dengan Xenophobic Records, sebuah label
dan distributor khusus musik
metal asal Australia via MySpace.

Oki, bassist, menjelaskan,
“Awalnya Xenophobic tertarik untuk merilis ulang album The
Prophecy yang kami rilis 2006
lalu, enggak nyangka juga
ternyata selain album kami dirilis
ulang, Agustus lalu kami juga
diundang untuk tur ke lima kota disana plus membuka konser
Dying Fetus dan Napalm Death.” Roy (drum) menambahkan kalau
Death Vomit saat itu begitu
antusias karena ini adalah
kesempatan tur ke luar negeri
pertama setelah malang
melintang selama lima belas tahun di scene metal nasional. �

Tur Australia Death Vomit diawali
dengan pementasan pada 1
September 2010 di kota Perth.
“Kita pertama main jadi band pembuka Dying Fetus dan Napalm
Death di Perth, bener-bener
keren crowd-nya,” ujar Roy. “Perth itu mungkin seperti Bandung� kalau di Indonesia, scene mereka kuat banget,
mereka punya yang namanya
Perth City Death Metal, semacam
komunitas metal yang kuat,
makanya crowd mereka juga
keren,” tambah Roy. Penampilan perdana ini juga membuat publik
Australia kaget Indonesia memiliki
band death metal seperti Death
Vomit.

Menurut Sofyan (gitar, vokal)
sebelum penampilan mereka di
Perth, metalheads di Australia
hanya mengenal nama Death
Vomit tanpa tahu musiknya.
“Dari Perth itulah mereka baru tahu ini yang namanya Death
Vomit, sebelum-sebelumnya
mereka paling tahu namanya
aja,” tutur Sofyan. Bagi mereka konser di Perth selain sebagai
pembuka tur juga sebagai ajang
perdana memperkenalkan
musiknya pada scene metal
Australia.

Setelah Perth mereka kemudian
pentas di Civic Hotel di kota kecil
Inglewood yang berada di Negara
Bagian Barat Australia pada 4
September lalu. “Inglewood ini tidak beda jauh sama Perth,
scene metal Australia itu
kuatnya memang di negara
bagian barat mereka, selain itu
di tiap kota kan kita main sama
band lokal metal mereka, nah disini band metalnya bagus-
bagus, ada Grostique, Nails of
Imposition sama Khariot juga,” jelas Roy.

Setelah Inglewood mereka
kemudian melanjutkan turnya
berturut-turut ke kota Geelong
(9/9), Melbourne (10/9), Sydney
(11/9) dan terakhir Brisbane
pada 15 September lalu. Kesempatan bermain di enam
kota di Autralia itu dimanfaatkan
Death Vomit untuk
mempromosikan rilis ulang album
mereka di Australia sekaligus
memperkenalkan lagu-lagu mereka di album baru yang akan
dirilis Januari 2011. “Biasanya satu kota kita main sepuluh lagu,
kita ambil setengahnya dari
album lama yang dirilis ulang,
setengahnya dari materi album
baru,” ungkap Roy.

Death Vomit sendiri secara
keseluruhan merasakan betul
perbedaan besar antara konser
di luar dengan di dalam negeri.
“Kalau dilihat dari yang nonton, crowd disana tuh kecil, waktu
main bareng Dying Fetus dan� Napalm Death paling cuma ada
300-an orang. Tapi yang gila
crowd sana itu bener-bener
memperhatikan, di lagu pertama
mereka diam aja, kaya melototin
yang main, kalau mainnya emang jelek, ya sudah mereka nggak
bakal gubris di lagu-lagu
berikutnya,” ujar Oki.


Keberhasilan Death Vomit
melakukan tur Australia
membuat pihak Xenophobic
berencana mengundang mereka
kembali tahun depan. “Ya rencananya sekalian promosi
album baru yang dirilis Januari
tahun depan, pasti tahun depan
bakal lebih matang lah
persiapannya, udah belajar dari
tur kemarin,” ungkap Roy berjanji.

Selesai dengan tur di Australia
tak membuat band yang telah
menelurkan dua album ini
bersantai-santai. Mereka kini
langsung menyibukkan diri
dengan rekaman album baru yang akan dirilis tahun depan.
Sofyan, Oki dan Roy berharap
dengan menjalin kerjasama
bersama Xenophobic musik
mereka bisa diterima metalhead
Australia. “Sebelum kami publik Australia hanya tahu Burgerkill
karena distribusi mereka sampai
sana, kami juga ingin musik death
metal Indonesia bisa diterima
masyarakat internasional,” pungkas Roy.�

Sumber : Rollingstone Indonesia

JAVA METAL FEST 2011




JAVA METAL FEST 2011
MINGGU 5 JUNI 2011. 10.00 WIB ON WARD
LIVE AT. GOR BAHUREKSO KENDAL - JATENG


Kill Performance By.

#AUTHORITY (Jakarta Grindcore)
#MENDIANG (Jakarta Death Grind)
#SECOND BEFORE (Jakarta Technical
Death Metal)
#F.O.D (Jakarta Metal Core)
#DISTRUST (Surabaya Death Metal)
#LAVA (Kendal War Metal)

etc ...
#More Info. 085641350070

Noxa Sukses Tampil Di Festival Grindcore Terbesar di Dunia


Kematian tragis drummer Robin
Hutagaol karena kecelakaan lalu
lintas di awal tahun lalu ternyata
tidak membuat band grindcore
Noxa berlarut-larut dalam
kesedihan atau bahkan bubar jalan. Setelah sebelumnya
merekrut seorang drummer
muda berbakat, pada
pertengahan Juli silam mereka
rela meninggalkan anak-istri dan
pekerjaan selama satu minggu untuk terbang selama 22 jam ke
Republik Ceko guna memenuhi
undangan tampil di Obscene
Extreme Festival 2010.
Ajang ini merupakan festival
musik grindcore dan death metal yang digelar tiga hari tiga malam
pada saat musim panas setiap
tahunnya sejak 1999 di Trutnov,
Republik Ceko. Untuk festival
Obscene Extreme tahun ini total
ada 66 band dari seluruh dunia yang tampil dan para headliner-
nya antara lain D.R.I., Misery
Index, Cripple Bastards, Doom,
Avulsed. Noxa sendiri tampil di
hari pertama, Kamis (15/7) lalu.
Total selama sekitar 40 menit, Tonny (vokal), Nyoman (bass),
Ade (gitar) dan Alvin (drums)
memainkan set grindcore mereka
yang ultra-cepat namun pendek
dari album Grind Virus dan self-
titled di hadapan ribuan metalhead Obscene Extreme
yang datang dari berbagai
negara di dunia. Bendera Merah
Putih sengaja dipajang di head
cabinet bass milik Nyoman
sementara di depan drum set Alvin ikut dipajang pula topeng
Barong khas Bali. Sambutan yang
meriah dari para penonton yang
ikut slam dance dan moshing
(bahkan naik ke atas panggung)
juga mengiringi penampilan Noxa.

”Terus terang kami bangga, karena walau datang dari
negara antahberantah ternyata
mereka bisa sangat menghargai
penampilan kami,” jelas gitaris Ade Himernio ketika diwawancara
di Rolling Stone Cafe beberapa
waktu lalu. � ”Kami bangga bisa tampil di festival Obscene Extreme ini,
karena menurut metalhead di
dunia dan teman-teman kami
dari band Bloody Phoenix asal
Amerika Serikat, ini adalah
festival grindcore terbesar di dunia, hampir semua band
grindcore besar sudah pernah
tampil di sana,” jelas vokalis Tonny.
Yang lebih membanggakan lagi,
festival Obscene Extreme tahun
ini khusus didedikasikan bagi
almarhum Robin Hutagaol oleh
Obscene Productions selaku promotornya. Foto besar Robin
terpajang di dua big screen yang
ada di panggung Obscene
Extreme Festival selama Noxa
tampil di sana.
Bahkan di CD kompilasi Obscene Extreme 2010 juga terpampang
foto Robin lengkap dengan kata
pengantar yang berbunyi: ”This year festival CD is dedicated to
Robin who always wished to play
with his band, Noxa at Obscene
Extreme Festival. Noxa is gonna� play this year and we all miss
Robin very much. You’ ll never be forgotten, bro!!! Peace!”� � “Sebelum berangkat kami kaget juga sempat diminta foto
almarhum Robin oleh Curby,
promotor festivalnya. Dia bilang
mau mendedikasikan festival
tahun ini bagi Robin. Ternyata
mereka sangat besar respeknya dengan almarhum,” jelas Ade Himernio, gitaris Noxa.
”Menurut Curby, almarhum Robin orang yang sangat baik dan
pergaulannya luas, ia bahkan
pernah dibawakan topeng
Barong. Setiap datang ke Ceko
Robin selalu memberi oleh-oleh,
bahkan sebelum berangkat ke sana ia pasti menelepon dan
bertanya mau dibawakan apa
dari Indonesia,” imbuh Ade lagi mengutip kata-kata Curby.
Selain membawa misi menaklukan
panggung musik internasional,
ternyata Noxa datang jauh-jauh
ke Republik Ceko dengan misi
yang mulia. Mereka ingin memperkenalkan scene musik
ekstrem di Indonesia dan
tentunya menjadi duta besar
metal yang ikut mempromosikan
nama baik bangsa dan negara.
”Indonesia bukan negara yang buruk seperti yang sering
mereka lihat di CNN dan itu gue
omongin langsung ke mereka
ketika manggung. Imejnya kan
negara kita dianggap negara
teroris, padahal kenyataannya bangsa kita udah terbiasa hidup
berdampingan berbeda agama
dan suku sudah sejak sangat
lama,” jelas Tonny bersemangat. Kebetulan di dalam Noxa sendiri
para personelnya terdiri dari
beragam suku dan beragam
agama, mulai dari Kristen,
Katolik, Islam dan Hindu.
Uniknya, tak lama setelah Noxa usai manggung mereka semua
lantas berdagang merchandise di
Grind Market yang letaknya tak
jauh dari panggung utama. Walau
bukan tergolong band headliner
namun oleh pihak promotor Noxa diberikan merchandise booth
yang letaknya sangat strategis
dan bahkan bertetangga dengan
band-band besar seperti D.R.I.,
Misery Index serta Doom.
Seusai tampil selama tiga hari berturut-turut lamanya mereka
menghabiskan waktu di sana
untuk memperluas jaringan bisnis
dan menyaksikan penampilan
berbagai band grindcore dan
death metal dari seluruh dunia. Noxa bahkan juga sempat
menerima tawaran untuk
membuat album split di
antaranya dengan band
grindcore Swedia, The Arson
Project Beberapa hari sebelum tampil di
festival Obscene Extreme ini Noxa
juga sempat tampil di beberapa
klub malam yang ada di dua kota
berbeda di Republik Ceko.
Seharusnya mereka juga dijadwalkan untuk tur di Perancis
dan Jerman namun karena hanya
mengambil cuti pekerjaan selama
satu minggu akhirnya tur di
kedua negara itu ditunda.
Perjuangan Noxa untuk tampil di Republik Ceko ternyata tidak
mudah dan tentunya tidak
murah. Ini karena pihak promotor
tidak menanggung biaya
penerbangan dan hanya
menyediakan mereka akomodasi, konsumsi serta honor manggung
selama mereka tur di sana. Tak
mau menyerah dengan tekanan
klasik seperti finansial, para
personel Noxa pun memutar otak
untuk mewujudkan impian mereka.
Sebagai band underground yang
memiliki kredibilitas jalanan cukup
baik di komunitas metal, Noxa
lantas bekerjasama dengan
concert organizer Solucites menggelar konser penggalangan
dana bertajuk All of the Same
Blood di Bulungan Open Air pada
27 Juni silam. Ikut tampil
mendukung di acara itu antara
lain Siksakubur, Gigantor, Paper Gangster dan sebagainya.
Konser dengan tiket seharga Rp
20.000 ini berjalan sukses dan
dihadiri lebih dari 1500 orang
penonton. Setelah dipotong biaya
produksi, keuntungan yang di dapat akhirnya diserahkan
kepada Noxa yang
diperuntukkan untuk membeli
tiket pesawat yang
menerbangkan lima orang dalam
rombongan Noxa ke Ceko. � ”Kami bisa berangkat ke Ceko sebenarnya atas bantuan scene
metal. Dukungan teman-teman
semua, band yang main di acara
itu dan para penonton yang
membeli tiket di All of the Same
Blood. Bantuan mereka cukup besar, 40% dari budget
keberangkatan tertutup dari
sana. Kami sangat berterimakasih
untuk itu,” jelas Ade lagi. � Dari semua personel Noxa,
ternyata hanya drummer Alvin
yang merasa memiliki beban
paling berat selama Noxa tampil
di Republik Ceko. Selain sebagai
personel paling muda, ini merupakan penampilan pertama
drummer berusia 22 tahun ini di
pentas metal internasional.
”Gue sebenarnya nggak menggantikan Robin. Gue cuma
mengisi posisi drum yang
ditinggalkan, karena bagi gue
Robin sebenarnya nggak
tergantikan. Sewaktu dia
meninggal gue kaget dan sedih juga. Akhirnya semakin kaget lagi
ketika diajak gabung dengan
Noxa. Sebelumnya gue nggak
pernah into grindcore, lebih ke
hardcore. Senang juga ternyata
bisa membawa nama Indonesia ketika manggung di luar negeri,” jelas Alvin.
Perjuangan Noxa dipastikan tak
hanya berhenti sampai di
Republik Ceko, agenda besar
akan mereka hadapi tahun
depan. Setelah merilis album baru Noxa rencananya akan kembali
melanglang buana.
�� �
”Ada yang mengajak kami untuk bikin tur bareng di Jerman,
Perancis dan Belanda, mudah-
mudahan tahun depan bisa jadi
kenyataan,” ujar Ade menutup sesi wawancara.

Senin, 25 April 2011

Konser SepanggungMetallica, Slayer, Megadeth,Anthrax di AS Sukses Besar


Kiri-kanan Dave Ellefson
(Megadeth), Frank Bello
(Anthrax), Kerry King (Slayer)
dan James Hetfield (Metallica)
(Foto: Metallica.com)

California - Konser raksasa musik metal
dunia Metallica, Slayer,
Megadeth, Anthrax yang kerap
disebut Big 4 berjalan dengan
sukses pada Sabtu (23/4) lalu di
Indio, California, AS.

Menurut Blabbermouth.net, konser yang
digelar di venue yang sama
dengan Festival Coachella
sepekan lalu minggu ini dihadiri
lebih dari 50.000 penonton.
Konser ini merupakan yang pertama kalinya digelar di
tanahair asal muasal keempat
band tersebut dibentuk sejak
awal dekade 80an silam.

Sebelumnya tur konser Big 4
hanya digelar di benua Eropa pada tahun 2010 lalu.
Konser Big 4 ini dibuka dengan
penampilan Anthrax yang
memainkan 9 lagu, disusul dengan
Megadeth yang mengusung 12
lagu, Slayer tampil dengan 15 lagu bersama gitaris Exodus,
Gary Holt (Jeff Hanneman tampil
di encore “South of Heaven” dan “Angel of Death”) dan ditutup dengan penampilan
Metallica yang memainkan set
panjang 18 lagu.

Keempat band tersebut bahkan
sempat melakukan jam session
membawakan nomor klasik milik Diamond Head, “Am I Evil?” di tengah-tengah penampilan
Metallica.

Dari kubu Slayer yang tahun lalu
hanya diwakili oleh drummer
Dave Lombardo kini bahkan ikut
serta pula gitaris Kerry King. Sementara bassist Tom Araya
dalam salah satu wawancara
mengaku tidak tertarik untuk
jam session membawakan lagu
itu, ia lebih memilih mereka
memainkan “The Four Horsemen” dibanding “Am I Evil?”

“Apakah kalian percaya? Tiga puluh tahun, man. Saya tidak
tahu berapa banyak dari kalian
disini yang telah hadir sejak 30
tahun lalu? Tidak jadi masalah
sama sekali, kalian semua hadir di
sini untuk menyaksikan Big Four dan kami sudah siapkan jam
session besar ini bagi kalian.
Sangat penting,” ujar gitaris dan vokalis Metallica, James
Hetfield sebelum memulai jam
session bersama keempat band
tersebut.

Berikut ini set list dari keempat
band yang tampil di sana saat itu:


ANTHRAX:
01. Caught In A Mosh
02. Got the Time
03. Madhouse
04. Among the Living
05. Antisocial
06. Indians
07. Fight 'Em Till You Can't
08. A.I.R.
09. I Am The Law

MEGADETH:
01. Trust
02. In My Darkest Hour
03. Hangar 18
04. Wake Up Dead
05. Poison Was the Cure
06. She-Wolf
07. Sweating Bullets
08. Head Crusher
09. A Tout Le Monde
10. Symphony of Destruction
11. Peace Sells
12. Holy Wars... The Punishment Due

SLAYER:
01. World Painted Blood
02. Hate Worldwide
03. War Ensemble
04. Postmortem
05. Raining Blood
06. Black Magic
07. Dead Skin Mask
08. Americon
09. Silent Scream
10. Antichrist
11. Seasons in the Abyss
12. Payback
13. Snuff
14. South of Heaven (bersama
Jeff Hanneman)
15. Angel of Death (bersama Jeff
Hanneman)

METALLICA:
01. Creeping Death
02. For Whom the Bell Tolls
03. Fuel
04. Ride the Lightning
05. Fade to Black
06. Cyanide
07. All Nightmare Long
08. Sad But True
09. Welcome Home (Sanitarium)
10. Orion
11. One
12. Master of Puppets
13. Blackened
14. Nothing Else Matters
15. Enter Sandman
Encore:
16. Am I Evil? (lagu DIAMOND HEAD)
(bersama Megadeth, Anthrax dan Slayer)
17. Hit The Lights
18. Seek And Destroy

(RS/RS)
Sumber : Rollingstone indonesia

3000an Orang Bersatu Menolak Terorisme di Konser Metal Untuk Semua

band metal dari
berbagai generasi bersatu
menyuarakan dukungan
terhadap pluralisme.

“Tadi sempat hujan deras, tapi sekarang sudah berhenti. Ini
adalah bukti bahwa Tuhan
memberkati musik setan,” kata Daniel vokalis Deadsquad dengan
lantang dan jelas. Ucapan itu
kemudian diamini para
metalheads dengan mengangkat
tangan mereka yang membentuk
devil horns tinggi-tinggi ke udara.

Tentu saja ribuan manusia yang
Minggu (17/10) sore itu berada
di Bulungan Outdoor tidak
sedang melakukan prosesi
pemujaan setan ataupun upacara penyembahan berhala.
Melainkan, sebuah konser musik
metal sedang berlangsung di
sana.

Deadsquad adalah band terakhir
yang tampil sebelum break Maghrib. Minus pemain gitar
Choky, Deadsquad menggempur
telinga metalheads dengan
komposisi-komposisi padat namun
estetis mereka dari album Horror
Vision (2009). Setelah menuntaskan lagu
ketiga, “Hiperbola Dogma Monoteis”, pemain bass Boni yang memiliki gaya khas
mencabik-cabik 4-strings dengan
rokok tersemat di bibir itu
mengajak penonton berinteraksi.

“Coba gue mau lihat tangannya dong,” pintanya kepada para penonton. Sontak ribuan devil
horns kembali terlihat lagi di
udara.


Tampak puas, Boni kemudian
melanjutkan, “Ada yang bilang ini adalah simbol Zionis. Salah berat.
Mereka nggak tahu kalau ini
dipopulerkan oleh Ronnie James
Dio? Bertahun-tahun main musik
metal nggak kenal siapa Dio?”

Seperti yang tertulis dalam
keterangan di situs jejaring
sosial, konser yang
diselenggarakan kolektif Bandar
Metal yang diberi tajuk Metal
Untuk Semua itu, “Bertujuan mengkampanyekan perdamaian,
menghargai perbedaan dan
menjunjung toleransi antar umat
beragama yang belakangan mulai
terganggu dengan aksi-aksi
kekerasan/teror berkedok agama.”

Menengok pada konteksnya sebagai kampanye,
maka wajar rasanya bila hari itu
para musisi yang tampil terlihat
berapi-api dalam menyuarakan
aspirasi mereka masing-masing
dari atas panggung.

Seluruh band yang tampil di
acara tanpa sponsor ini tidak
ada satu pun yang dibayar,
mereka secara sukarela ikut
serta di acara ini untuk ikut
mengkampanyekan perlawanan terhadap terorisme dan
menghargai perbedaan.


Sementara keuntungan yang di
dapat dari acara ini nantinya
akan dibagi secara rata bagi
seluruh band yang tampil. Soal devil horns atau metal
horns, yang sempat jadi polemik
di kalangan metalheads Jakarta,
hari itu tampaknya menjadi isu
seksi yang terus menerus
disinggung para musisi yang naik ke atas panggung.

“Konser Pro-Pluralisme & Anti- Terorisme” juga sepertinya sengaja dirancang untuk
merespon propaganda yang coba
menggiring subkultur metal
menjadi eksklusif hanya bagi satu
golongan atau agama tertentu
saja.

Secara tersirat, tema ini
tampaknya telah dipahami
dengan baik oleh semua yang
hadir, “Pro-Prularisme” menjadi pesan: Musik heavy metal dan
subgenrenya adalah untuk
semua yang hadir, yang tidak
perlu dipolitisir dengan ajaran-
ajaran agama tertentu sehingga
berpotensi menyulut perpecahan komunitas di dalam subkultur
yang telah sejak puluhan tahun
lamanya hidup dalam aneka
perbedaan agama, suku, ras,
status sosial, dan sebagainya.


Tema “Anti-Terorisme” adalah untuk meng-counter upaya
infiltrasi doktrin teror dengan
kekerasan yang berkedok agama
kepada segenap metalheads
muda yang mayoritas mudah
dipengaruhi. Fakta membuktikan bahwa beberapa dari
”pengantin” (pelaku terorisme) di Indonesia adalah kalangan ABG.


Ada indikasi kuat pula bahwa kini
para teroris berkedok agama
coba menggunakan medium musik
metal sebagai salah satu proses
rekrutmen ”pengantin.”

Sebelum Deadsquad, Panic
Disorder memborbardir para
pecandu distorsi dari atas
panggung dengan nomor-nomor
beringas mereka. Bak hewan
buas yang berada di dalam kerangkeng, para metalhead di
barisan terdepan ber-
headbanging sembari
mengguncang-guncangkan pagar
barikade yang membatasi
mereka dengan panggung.

Seorang remaja puteri yang baju
dan rambutnya tampak basah
karena siraman hujan beberapa
waktu sebelumnya memilih untuk
melakukan sesuatu yang lebih
liar lagi: Berdiri di atas pagar barikade, dan mengguncang-
guncangkan kepalanya di sana
selama beberapa saat.

Panic
Disorder menyudahi kegilaan itu
dengan lagu terakhir, “Doktrin Penghancur”.

Hujan gerimis masih turun
tatkala band sebelum Panic
Disorder tampil, Seringai. Tapi
para metalheads tak gentar oleh
butir-butir air yang terus
berjatuhan di atas kepala mereka. Sebaliknya mereka
terlihat lebih berapi-api saat
mengepalkan tangan ke udara
sembari berteriak bersama-
sama, “Individu / Individu Merdeka!!!”

Seakan menolak tunduk pada
dogma apapun yang selalu
mencoba mengontrol pikiran
mereka. Melihat pemandangan ini
mengingatkan pada salah satu
bagian penting signature Roger Waters eks-Pink Floyd, “The Wall”: “We don’ t need no education / We don’ t need no thought control…”

Vokalis Arian13 seakan
menemukan ruang untuk
menyampaikan pandangan-
pandangan politisnya secara
leluasa di sini. Mereka yang
sepekan sebelumnya sempat menyaksikan penampilan Seringai
di Pantai Karnaval, Ancol, pasti
menyadari bahwa set list
Seringai sore itu tidak jauh
berbeda. Dan masih sama pula
seperti pekan sebelumnya, orasi Arian sore itu juga berisi seputar
kritiknya pada aparat kepolisian
Bandung yang susah memberikan
ijin untuk mengadakan acara
musik dan juga mengkritisi
kebijakan sensor internet oleh Menkominfo Tifatul Sembiring.


“Dia pernah mengatakan bahwa bencana alam yang terjadi di
Indonesia itu karena perbuatan
tidak bermoral. Sehingga dia
merasa perlu untuk memblokir
situs porno,” kata Arian. “Itu sih karena letak geografis Indonesia
saja yang berada di daerah
rawan gempa.” Selain nomor-nomor lama,
Seringai membawakan dua lagu
baru lainnya yaitu: “Dilarang di Bandung” dan “Program Party Seringai”. Dan hujan pun mulai reda.


Sebelumnya tampil cadas pula
band old school death metal
Jakarta, Ritual Doom yang masih
digawangi oleh gitaris perempuan
Vivi dan kini bersama vokalis Arry Fajar (eks-Purgatory). Band
brutal death metal Funeral
Inception membuka konser sore
hari itu dengan meng-cover
nomor milik Nile yang berjudul
”Kafir.” Doni Iblis, vokalis sekaligus show director Metal
Untuk Semua termasuk salah
satu yang berorasi cukup keras
sore itu.

”Metal is about fun! Metal tidak ngajari kita untuk ngebom, tidak
ngajari kita untuk membenci
atau anti terhadap agama lain,
it’ s about fun!” Tak lama setelah ia berorasi mendadak
hujan pun turun cukup deras.


Band grindcore yang sangat
plural komposisi personelnya,
Noxa, tampil cukup pagi di acara
tersebut. Karena beberapa orang personel mereka harus
bekerja di hari Minggu. Walau
tampil pagi bukan berarti para
penggemar tidak ada, venue
yang awalnya masih sepi
mendadak ramai begitu Noxa mengentak dengan nomor-nomor
brutal cepat dan pendek mereka.
Pluralisme memang bukanlah
sesuatu yang aneh di dalam
Noxa. Tak ada personelnya yang
bersuku dan beragama sama di dalamnya. Vokalis Tonny
beragama Kristen dan bersuku
Batak, gitaris Ade adalah Muslim
dan bersuku Jawa, bassist
Nyoman adalah Hindu dan berasal
dari Bali sementara drummer baru mereka, Alvin beragama
Katolik dan berasal dari Jakarta.
Semuanya berjalan dengan baik
di dalam band ini tanpa
menghiraukan apapun latar
belakang mereka masing- masing.

Beberapa yang tampil kemudian
di Metal Untuk Semua di
antaranya adalah band
metalcore Straightout, gothic
power metal Gelap, death thrash
metal Death Valley, veteran death metal Trauma, Sabor
hingga Death's Gray. Semuanya
sama-sama meneriakkan
perlawanan terhadap terorisme
dan pesan-pesan toleransi antar
umat beragama.

Jumlah penonton tidak
berkurang secara signifikan
ketika band thrash Oracle tampil
membuka sesi kedua setelah
break maghrib. Vokalis Troy Adam dengan rendah hati
berterima kasih karena bandnya
telah diundang di acara ini.
Kemudian mereka kembali
memanaskan amplifier dengan
lima lagu, yang tiga di antaranya merupakan lagu dari album
mereka No Truth, No Justice
(2010): “Blessed in Funeral”, “K.P.K” dan “Calo Bangsat (Airlines).”

Dreamer juga menjadi band yang
ditunggu-tunggu penonton
malam itu. Vokalis perempuan
Rika Ariga yang malam itu tampil
cantik dan lebih leluasa untuk
ber-headbanging setelah melahirkan, berhasil menjadi
faktor penarik penonton untuk
merapat ke depan panggung.
Mereka membawakan dua lagu
sendiri “Bait Suci” dan “Seroja 1975”,

sebelum mengundang vokalis heavy metal legendaris
Arul Efansyah untuk naik ke atas
panggung.
“Selamat malam, Rakyat Metal!” teriak vokalis band Power Metal
itu dengan suara melengkingnya
yang khas. Kemudian bersama
Arul, Dreamer membawakan dua
lagu Power Metal, “Angkara” dan “Timur Tragedi”. Untuk beberapa saat venue jadi terasa
berada di tengah pusaran puting
beliung akibat pertemuan energi
dari panggung dan penonton
yang sama besarnya.


Tak lama berselang setelah penampilan Dreamer usai, band
death metal Jakarta Timur,
Siksakubur, kembali membuat
ribuan orang yang masih
bertahan di sana menjadi
kehilangan kendali. Instrumental “Darah Terpilih” yang angker itu terdengar ketika pemain
gitar Andre Tiranda, pemain bass
Ewin, pemain gitar Nyoman dan
pemain drum Prama sudah siap di
atas panggung.

Ketika intro lagu “Anak Lelaki dan Serigala” yang menghentak terdengar, dan vokalis Japs
muncul, metalheads pun langsung
mengangkat devil horns mereka
tinggi-tinggi sekali lagi. Dan
Siksakubur pun tak segan
menggempur mereka dengan lagu dari album terakhir mereka
itu, Tentara Merah Darah (2010).
“Coba gue mau lihat tangan kalian semua. Gue mau melihat
apakah jari kalian masih baik-
baik saja,” kata pemain gitar Andre Tiranda kepada penonton
setelah memainkan lagu kedua,
“Menanduk Melawan Tunduk”. Dan tanduk-tanduk setan itu
pun terlihat kembali.
“Ternyata jari kita masih baik- baik saja, ya,” kata Andre kemudian sedikit tertawa.
Siksakubur pun melanjutkan
dengan “Destitusi Menuju Mati” dari album Eye Cry (2003), serta
dua lagu lagi dari album terakhir
mereka “Dewa yang Terluka” dan “Memoar Sang Pengobar”. Sebagai penutup acara,

Bandar
Metal mendaulat band thrash
metal legendaris Roxx sebagai
pemungkas acara. Roxx
barangkali satu-satunya band
yang paling santai malam itu. Meski di belakang panggung
terpampang spanduk acara
berukuran besar, lengkap
dengan nama acara dan
temanya, gitaris Jaya berkata
pada satu jeda, “Prularisme! Apaan tuh? Gue nggak ngerti.
Yang gue ngerti cuma
kemaluan!” Para penonton pun spontan terbahak-bahak
mendengar guyonan Jaya.
Namun, penonton tampaknya
telah mahfum dengan karakter
gitaris berambut keriwil yang
senang bersenda gurau itu. Sehingga ucapan tersebut tidak
menjadi sesuatu yang dianggap
kontra terhadap tema acara.
Roxx membawakan tujuh lagu
malam itu, di antaranya “Price,” “Rock Bergema,” serta “Heroin”— yang mereka tulis untuk mantan pemain drum
almarhum Arry Yanuar. Sebagai
penutup, tak lupa Roxx
membawakan satu nomor milik
Metallica, “Seek & Destroy,” yang mungkin sengaja dipilih
untuk menyatukan semangat
melawan terorisme.
Legenda thrash metal Indonesia
Roxx, vokalis legendaris heavy
metal/power metal Arul Efansyah, serta band-band metal besar
lainnya telah tampil menyuarakan
dukungan terhadap
kemajemukan—atau yang biasa kita sebut dengan Bhineka
Tunggal Ika. Maka masih perlukah
kita membangun eksklusivitas
golongan? Jelas tidak!

Minggu, 24 April 2011

Vision EyesMempertahankan Jati Diri



“Salah satu di antara band pengusung genre metalcore yang
terbaik dan memiliki kualitas
sebagai band metalcore
terdepan di Indonesia,”
begitu bunyi salah satu kalimat di dalam
siaran pers peluncuran album
terbaru Vision Eyes yang
diterima Rolling Stone.

Sebuah pernyataan yang berani
di tengah kerasnya kancah musik metal tanah air. Kalimat yang
rentan kritik dari siapapun juga
di dalam scene. Akan tetapi
melihat kancah musik metal
ibukota yang kini relatif sepi dari
subgenre tersebut, dibandingkan dengan subgenre metal lain
seperti death metal, misalnya,
rasanya apresiasi patut
diberikan kepada Vision Eyes
atas keberanian menunjukkan
perbedaan.

Selain itu, eksistensi Vision Eyes sejak 1999 sampai
sekarang telah menunjukkan
bahwa mereka bukanlah band
yang sekadar mampir.
“Kalau melihat band-band yang seangkatan kami sekarang, udah
jarang banget yang
membawakan metalcore,” kata Herza Nugraha, vokalis Vision
Eyes. “Kebanyakan death metal, deathcore. Karena mereka
mengikuti perkembangan jaman.

Oke lah, kami memang harus
bergerak dengan jaman. Tapi
kalau kami ikut berubah jadi
deathcore, jadi nggak punya jati diri dong? Sekarang band-band
yang main metalcore sudah pada
mati, kami masih terus di sini.” Hari Minggu (31/10) lalu, Vision
Eyes melangsungkan pesta
peluncuran album teranyar
mereka, The Glorious Evolution, di
bawah bendera Off The Records.
Album tersebut merupakan album penuh kedua setelah Shattered
Heaven yang rilis tahun 2008
silam. Di tahun 2003—empat tahun setelah terbentuknya— Vision Eyes pernah merilis sebuah
EP bertajuk Tears Red Blood.


Namun, di album EP itu, musik
mereka belum terdengar seperti
hari ini.
“Awalnya kami membawakan musik hardcore. Kayak Earth
Crisis, Hatebreed, Morning
Again… Tapi dari awalnya kami memang udah suka metal juga,” kenang Herza.
Seiring waktu dan pergantian
personil yang lumayan sering,
musik Vision Eyes pun mengalami
perkembangan. Perubahan itu
terdengar di album Shattered Heaven, ketika mereka mencoba
bereksperimen dengan
mencampurkan unsur-unsur
death metal, thrash metal, nu
metal dan hardcore. Dan dengan
line-up yang sekarang—Herza (vokal), Rendy Frabowo dan Reza
Budi Satria (gitar), Muhammad
Bagoes Putranto (bass) dan
Darwin Mulyawan Nasution
(drum)—Vision Eyes merasa sudah mantap untuk menetap di genre
metalcore.


“Untuk di album baru ini kita sudah ke arah metalcore. Kayak
Killswitch Engage, All That
Remains,” tambah Herza. “Setelah proses beberapa lama akhirnya kita merasa cocok di
sini.” Pesta peluncuran album The
Glorious Evolution telah
berlangsung di Bulungan Outdoor,
Jakarta Selatan, atas prakarsa
Stereo Loud Entertainment.
Dengan didukung pula oleh penampilan band-band cadas
papan atas ibu kota, seperti:
Siksakubur, Noxa, Trauma dan
Prosatanica. Rencananya tak
lama lagi Vision Eyes akan
melanjutkan tur promosi album terbaru mereka itu ke beberapa
kota di Indonesia serta ke negeri
jiran Singapura.


Sumber :Rollingstone indonesia

Extreme Decay RilisHolocaust Resistance


“Menjaga mood penggemar adalah tanggung jawab kami,
sampai akhirnya materi-materi
baru ini betul-betul siap untuk
disajikan ke publik. Dengan
hadirnya album baru ini, kami
harap mereka bisa mengalami ejakulasi selama berhari-hari
setelah menelanjangi musik
kami,” sumbar Yuda, pencabik bass Extreme Decay.


Sebenarnya cukup panjang
proses perjalanan dan
pengerjaan album ke-empat
Extreme Decay yang diberi tajuk
Holocaust Resistance ini. Sejak tahun 2008, Extreme Decay
sudah mulai merekam materi
musiknya di Delta Studio, Malang,
Jawa Timur gara-gara ada kabar
mendadak kalau gitaris Ravi akan
segera hijrah ke Sumatera.
Mungkin akibat rekaman dengan
sistem "kebut semalam" itu
hingga hasilnya dianggap kurang
maksimal, dan prosesnya
terpaksa dihentikan di tengah
jalan.

Pada akhirnya Ravi musti pergi
meninggalkan Extreme Decay
dengan sisa personil Afrl [vokal],
Yuda [bass], dan Eko [drum]. Trio
ini mencoba terus bertahan
sambil mencari gitaris pengganti. Pilihan mereka akhirnya jatuh
kepada Sahery, gitaris handal
dari grup band Perish dan
Anorma. Proses adaptasi
dilakukan secara cepat karena
toh mereka sudah berteman lama di scene musik cadas kota
Malang.


Pada bulan Januari 2009,
Extreme Decay memulai lagi
proses rekamannya dari awal
dan dilakukan secara bertahap. Sesi rekaman album ini memang
cukup memakan waktu karena
mesti dikerjakan di tiga studio
yang berbeda; take drum di
Natural Studio [Surabaya], take
gitar dan bass di Fakhri Home Recording [Malang], dan take
vokal di ETC Studio [Malang]. Ini
masih ditambah juga dengan
proses mixing di Grim Studio
[Jakarta] dan mastering di
Blacklines [Jakarta] yang ditangani langsung oleh Yobbi
Ananta [Alakazam].


Extreme Decay adalah unit
pengusung musik grindcore yang
terbentuk di kota Malang pada
bulan Januari 1998. Sejak berdiri mereka langsung produktif dalam
merilis berbagai rilisan. Bahkan
hanya dalam waktu dua tahun
pertama, mereka sudah berhasil
merilis tiga album studio dan dua
demo rehearsal melalui berbagai label rekaman di Indonesia
maupun luar negeri. Belum lagi
berbagai proyek album split dan
kompilasi internasional yang
sudah pernah mereka ikuti sejak
berdiri hingga sekarang. Full album terakhir mereka adalah
Sampah Dunia Ketiga yang dirilis
oleh Extreme Souls Production
pada tahun 2000.


“Yah memang banyak perkembangan dalam perjalanan
kami selama satu dekade
terakhir. Bongkar pasang
personil adalah hal yang cukup
menyita waktu. Tapi meskipun
Extreme Decay berada dalam masa kritis atau semi-vakum pun
kami masih tetap bergerilya dan
mencoba aktif di scene ini. Salah
satunya dalam bentuk
merchandise. Karena itu juga
kami masih bisa bertahan dan berusaha bangkit kembali,” kata Afril ketika ditanya soal rentang
waktu yang lama antara
Holocaust Resistance dengan
album sebelumnya.


“Sepertinya tambahan kesibukan serta pergantian
personil sangat mengulum habis
tenaga dan mengganggu
kreativitas kami saat
mengerjakan album baru ini. Ravi
terpaksa menjemput jodoh ke Pekanbaru. Patah hati, kami pun
melamar gitaris Perish dan
Anorma sebagai imbalannya.
Pretty fair, isn't it?” tambah Yuda kemudian.

Di album penuhnya yang ke-
empat ini, Extreme Decay
merekam 13 karya lagu,
termasuk hits lawas, “Green Me”, yang digubah dalam versi baru. Mereka juga memainkan
sebuah lagu cover berjudul
“Inhale/Exhale” milik band grindcore asal Swedia, Nasum.
“Secara garis besar, kami memainkan grindcore!” ungkap Afrl tentang konsep musik
mereka di album barunya. “Iya, masih di wilayah crust/hardcore/
punk. Hanya saja mencoba lebih
‘ berdasi’ . Sedangkan tambahan distorsi adalah kosmetik dari
emosi kami,” sambung Yuda sambil menjelaskan unsur bunyi-
bunyian elektronik dan ambient/
harsh yang ada di dalam album
baru mereka.

Tercatat, ada banyak pihak yang
membantu dan berkontribusi dalam pengerjaan album
Holocaust Resistance. Vokal latar
pada sejumlah lagu diisi oleh
Matto [Killharmonic], Aryev Gobel
[Keramat], Catur Guritno
[Antiphaty], hingga Casper [Hatestroke]. Kemudian Githrue
Mario [Serigala Malam] dan
Heickel Alkatiri [Aneka Digital
Safari] ikut serta menyuntikan
injeksi elektroniknya sebagai
intro/outro. Bahkan, Extreme Decay juga mengundang mantan
personilnya terdahulu, Adhiext
dan Ravi, untuk turut
menyumbangkan suara� vokalnya di beberapa lagu.
Semua lirik yang ditulis oleh Afrl
bercerita lugas soal perang,
bencana, tragedi, lingkungan,
kritik sosial, dan juga politik.
Straight and to-the-point.

“Sekedar gambaran kecil penolakan akan kehancuran
yang ada akibat ulah
manusianya,” ujar Afrl singkat. “Sesimpel ini, kami tidak akan mentolerir lagi bila ternyata
masih ada nama ‘ manusia’ dalam daftar penyokong resmi
penghancuran dunia,” imbuh Yuda kemudian. “Jargon metal satu jari, tiga jari, atau tigabelas
jari? Jujur saja kami terlalu
repot untuk menegur polah
mereka. Tingkah-tingkah konyol
seperti itu tidak akan pernah
kami usung sebagai tema.” Artwork yang dipakai pada
sampul album Holocaust
Resistance adalah karya
ilustrator berbakat asal kota
Malang, Mutant Komando, yang
juga dikenal sebagai vokalis Primitive Chimpanzee dan
memang sering membikin artwork
untuk flyer, poster, merchandise
maupun sampul album lokal. �

“Dalam perjalanan karir kami, mungkin Holocaust Resistance
adalah album yang paling mahal
dari ukuran pengalaman,
semangat, sampai produksi bila
dibandingkan dengan album-
album sebelumnya,” kata Yuda. Formasi terakhir Extreme Decay
saat ini digawangi oleh empat
nama dengan aktivitasnya
masing-masing. Afrl adalah vokalis
sekaligus founder ED yang juga
bekerja di sebuah institusi pemerintahan di kota Kediri. Eko
yang bekerja di sebuah distro di
Malang sudah lama dikenal
sebagai ‘ mesin drum’ tangguh bersama Antiphaty, Keramat,
dan Anorma. Bassist Yuda [ex
Wodka/Disintegrate] adalah
pemuda yang menghabiskan
banyak waktunya di depan
komputer, sambil menekuni berbagai program aplikasi
multimedia dan website.
Sedangkan Sahery adalah gitaris
metal yang juga bergabung di
kelompok musik Perish dan
Anorma. Di sela-sela kesibukannya, Afrl
dkk sepertinya akan
menempatkan album Holocaust
Resistance sebagai suatu fase
baru dalam eksistensi mereka.
Semacam momentum untuk bangkit dan aktif berkarya,
serta kembali menyapa
penggemarnya yang [mungkin]
sudah terlalu lama menunggu.

Apakah ini berarti Extreme Decay
juga akan segera tampil di berbagai panggung setelah
sekian lama absen?! “Tentu kami sekarang sangat siap. Itu bagian
dari pengabdian kami kepada
penggemar. Siapkan saja sepetak
panggung ukuran minimal 3x4
meter, tanpa mengeluh akan
kami bakar habis dengan mesin gerinda buatan kami!” jawab Yuda dengan lugas.

Album Holocaust Resistence resmi
dirilis mulai bulan Oktober 2010 di
bawah label Armstretch Records
– sebuah label rekaman independen yang dulunya
bernama Blue Sky Records. Rilisan
ini sudah beredar luas dan bisa
didapatkan di sejumlah distro
dan toko musik di Indonesia.

Roxx: Metallica Night The Rock Cafe, Jakarta, 24 Desember 2008

Sambil berharap yang asli datang
lagi, menikmati versi generik rasa
lokal juga bisa cukup memuaskan.



"Jaya, Gontai! Jay! Gontai!"
Beberapa orang berteriak
meminta lagu "Gontai" kepada Jaya, gitaris Roxx. Padahal,
malam itu Roxx sedang bermain
dalam sebuah acara berjudul
Metallica Night. Yang diteriaki,
hanya bisa tersenyum sambil
memandang mereka yang berteriak.
"Lagu Roxx dong! Lagu Roxx! We
want Roxx!"sebagian lagi
berteriak memanggil-manggil
nama bandnya.


Vokalis Trison juga hanya bisa
tersenyum. Malam itu adalah
malam Natal, tapi di The Rock,
malam itu adalah malam Metallica.
Malam para penggemar Metallica
berkumpul, bernyanyi bersama, sedikit memuaskan keinginan
untuk bisa mendengar lagu-lagu
Metallica dibawakan dalam set
panjang meskipun bukan oleh si
pemilik asli lagunya. Lelaki
berkaos hitam terlihat sangat dominan malam itu. Tak sedikit
yang berbadan besar, terutama
mereka yang berkumpul di depan
panggung. Sepertinya sebagian
besar wajah mereka ada di atas
umur 25 tahun. Tak ada remaja imut-imut atau anak kemarin
sore yang merasa paling metal
hanya karena memakai kaos
Avenged Sevenfold atau
Killswitch Engage. Sebagian besar
yang hadir malam itu adalah mereka yang benar-benar
mencintai Metallica. Saking
besarnya hingga mau
mengeluarkan uang Rp 150 ribu
untuk tiket masuk (kecuali para
cheap bastards yang kebetulan punya koneksi ke panitia
penyelenggara).
Set pertama, Roxx menghajar
dengan tiga lagu: "For Whom The
Bell Tolls" , "Through The Never" ,
dan "Eye of The Beholder." Beres break pertama, "Sanatarium"
otomatis mengajak crowd
bernyanyi bersama. Karena
sebagian besar lelaki, di dalam
ruangan kecil nan padat dan
sesak, suara mereka terdengar menggelegar. Tangan-tangan
terangkat. Semuanya bernyanyi
di bawah komando Trison.
Rengekan mereka yang
sebelumnya meminta lagu Roxx
dibawakan tak terdengar lagi begitu musik dimainkan. "Master
of Puppets" jadi amunisi
berikutnya.

"Gue ke WC dulu ya, pengen
kencing nih!" kata Jaya sambil
cengengesan seraya
meninggalkan panggung. Crowd
hanya bisa terbahak-bahak.
Sementara itu, teriakan meminta lagu Roxx masih terdengar.
Sepulangnya dari WC, Jaya
memanggil seorang kawan lama:
Iwan, mantan gitaris Roxx.
"Gimana kalau kita minta Iwan
maen?" kata Trison. Gitaris jangkung itu tersenyum di sudut
panggung. Dan "Rock Bergema"
pun berkumandang. Memuaskan
keinginan mereka yang
mengharapkan lagu Roxx
dimainkan. Crowd makin menggila. Sebagian dari mereka melakukan
stage dive. Empat lagu dari
Metallica menutup sesi terakhir.
"Seek and Destroy" seakan jadi
gong yang tepat untuk klimaks
yang menyenangkan. Setidaknya, sampai Metallica datang kembali
ke Indonesia, malam itu crowd
bisa sedikit terpuaskan oleh
Metallica rasa lokal.

Total Tayangan Laman

theremon666@gmail.com
DOWNLOAD:
VOLTURYON - Coordinated Mutilation (2011) genre:Death orgin:Sweden BENIGHTED - Asylum Cave (2011) genre:Death/Grind orgin:France IMPRECATORY - Mortal Intestines Decay [2005] Genre(s) : Brutal Death metal Origin : Indonesia (Bandung) Band: Outlander Origin : Indonesia (Pontianak,West Borneo) Genre(s) : Slamming Brutal Death DEAD SQUAD - Horor Vision (2009) Indonesia (Jakarta) Genre(s) : Tech. Brutal Death Morbid Angel - 1989 -Abominations of Desolation Morbid Angel - 1991 - Blessed Are The Sick Morbid Angel - (1990) Altars Of Madness Morbid Angel - 1993 - Covenant Morbid Angel - (1995) Domination Morbid Angel - (1996) Entangled in Chaos - (Live) Morbid Angel - (2000) Gateways To Annihilation Morbid Angel - (2002) Tyrants From The Abyss (Tribute to Morbid Angel) Morbid Angel - (2003) Heretic Morbid Angel - (2005) Ignominious - Part REMON INSIDE™ Brutal Music Reviews

Cari Blog Ini

REMON INSIDE™ :
free counters