Diakui atau tidak keberadaan komunitas musik cadas (punk, underground, grunge, grindcore, hardcore) di Indonesia masih dianggap sebelah mata di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara yang dirundung teror keyakinan dan bom bunuh diri.
Citra negatif (anti kemapanan, begundal, begebah, selengean, dekat dengan minumar keras, narkoba, zat adiktif) kerap melekat pada mereka yang memilih jalur music indie.
Untuk urusan keagamaan apalagi. Cap tak pernah mengenal Tuhan dan menyebarkan ajaran sesat harus diterimanya. Ini yang dilakukan oleh Front Pembela Islam (FPI) dalam sebuah kuliah umum di Markas FPI di Petamburan, Jakarta Pusat. Budi Fahri Farid anggota senior FPI dan ahli musik Islam, menduga pada gerakan komunitas musik underground telah ada upaya bersama untuk memalingkan generasi muda dari ajaran Islam.
"Sudah ada konspirasi. Sebuah perang yang diluncurkan oleh komunitas underground (terhadap mainstream ajaran Islam)," katanya.
Underground Agen Zionis
Ia menelusuri akar musik underground untuk gerakan Zionis. Sekelompok orang yang mengikuti ideologi Zionis telah menggunakan medium untuk menyembunyikan tujuan mereka dominasi dunia.
"Pada akhir hari, itu akan menanamkan konflik di kalangan umat Islam sendiri," katanya.
Awalnya komunitas musik underground dikembangkan sebagai sebuah perlawanan terhadap industri mainstream secara independen dengan memproduksi dan mendistribusikan musik, telah ditumbangkan oleh gerakan Zionis untuk menyebarkan ide-ide yang akan bertentangan dengan Islam. (The Jakarta Post, 21 Maret 2011).
Saat ini Front Pembela Islam (FPI) sedang memasang mata mereka untuk mengincar penganut dan pergerakan musik underground yang mereka yakini membawa kesesatan khususnya di kalangan Muslim.
“Ada konspirasi di dalamnya. Perang sudah dikibarkan komunitas underground untuk melawan pengajaran Islam secara umum,” katanya.
Ia meyakini kalau akar musik underground itu merupakan gerakan Zionis yang meyakini pengikutan ideologi tersebut digunakan sebagai medium penyembunyi tujuan untuk mendominasi dunia.
“Pada akhirnya, itu akan menjadi konflik di kalangan umat Muslim sendiri,” ujarnya (Hidayatullah, 23/3)
Nasyid Underground Pulo Gadung
Meskipun ada komunitas musik casad yang taat beragama. Adalah Punk Muslim (Nasyid Underground) yang digagas oleh Ahmad Zaki, Adi, dan (alm) Budi. Ramadhan tahun 2007 mereka membentuk Punk Muslim di rumah singgah anak jalanan, Sanggar Oedix, sebelah kiri Terminal Pulo Gadung. Dalam situs resminya http://punkmuslim.multiply.com menyebutkan;
“Punk Muslim mencoba untuk menjalankan perintah seperti, 'sampaikanlah walau cuma satu ayat', 'saling ingat mengingatkanlah kalian dalam kebaikan', atau ribuan perintah-perintah yang lain, dan kami ini baru satu, dua atau tiga saja yang bisa kami kerjakan.
Dan kami ini mengkhususkan untuk menyampaikan kepada diri kami sendiri dan merangkul kawan-kawan punk yang terlanjur nge-Punk”
“Kami tidak melawan mereka (punkers), yang kami lawan adalah sebuah konsep atau sistem yang membuat mereka seperti yang terlihat sekarang, melawan pembiasan makna kebebasan yang ekstrim dan terlampau mengada-ada, dan melawan dasar mereka turun kejalanan entah karena broken home atau sebab lain.”
“Muslim adalah sebuah subjek, dan Punk hanya sebuah objet, terlepas dari letak susunan kata subjek dan objek, “punk muslim” atau “muslim punk”.
Kami ini hanya sebuah antitesis. Mencoba membuat dialektika dalam punk itu sendiri. Kami bukan punk islam atau Islam punk, kami Punk Muslim“
Upaya mendalami ajaran Islam pengajian dan membaca Al-Quran sering dilakukan untuk mengenal Tuhan. Ahmad Zaki yang mengasuh anak-anak punk mencoba belajar membaca Al-Qur'an setiap malam Jumat. Mabit tiap dua bulan sekali, tafakur alam setiap tahun, dan rekrutmen menjadi kegiatan Punk Muslim. (Sabili, 19 Juni 2008, Eramuslim, Senin, 09/11/2009, detikNews, Kamis, 04/02/2010 dan Zero to Hero Metro TV Senin, 19 Juli 2010)
Kampung Metal “Ujungberung”
Kontek Bandung kampung metal ada di Ujungberung dengan slogan ”…Panceg dina galur/babarengan ngajaga lembur. Moal ingkah najan awak lebur…” (Teguh dalam pendirian, bersama-sama menjaga kampung dan persaudaraan. Tidak akan bergeming walaupun badan hancur lebur) yang diambil dari Amanat Galunggung yang dituliskan Rakeyan Darmasiksa (Raja Sunda Kuno yang hidup pada 1175-1297 Masehi) dan disadur menjadi lirik lagu ”Kujang Rompang” oleh Jasad, sebuah band beraliran death metal asal Bandung.
Keberadaan subkultur band death metal asal Ujungberung ini merupakan sebuah paradoks. Pasalnya, musik metal, tetapi lirik dan pesan nyunda dengan memakai alat Karinding, Celempung, Tarawangsa. Ujungberung Rebels dan Bandung Death Metal Sindikat menjadi wadah ekpresinya. (Kompas, 6 November 2009 dan Oasis Metro TV, 17 Februari 2011)
Namun, stigma negatif yang jauh dari Tuhan masih melekat pada mereka. Menanggapi pernyataan FPI tentang underground penyebar aliran sesat, menjauhkan pemuda dari Islam dan agen Zionis.
Model Beragama Musik Cadas
Andreij Eijkov menuliskan dalam blognya (karonkeren.multiply.com edisi 21 Maret 2011 1:38 AM), Saya memberi contoh Kimung, eks personil band metalcore Burgerkill. Ia adalah seorang pemeluk islam dan juga seorang metalhead. Saya menyimaknya melalui beberapa tulisannya. Semasa kecil dan remaja ia memahami banyak ajaran Islam, dan kemudian selera musik metalnya mengajarkan sikap anti fasis dan anti diskriminasi.
Titik potong terhadap kedua hal tersebut adalah saat ia menterjemahkan sendiri keyakinannya dalam sebuah sikap yang anti terhadap diskriminasi dalam bentuk apapun termasuk religi dan cenderung toleran terhadap segenap perbedaan yang ada. Apakah disini underground menjauhkannya dari ajaran Islam … bisa saya jawab tidak ! Lagipula contoh mengenai Kimung bukan sebuah hal baru di Indonesia, karena saya juga mengenal banyak sosok underground yang disatu sisi juga masih meyakini ajaran agamanya. (www.xtremezine.co.cc)
Memang benar Kimung, eks personil Burgerkill pernah menuliskan "Ketika Saya Memutuskan untuk Meninggalkan Mesjid" pada blognya (www.kimun666.multiply.com edisi 7 Juni 2008 5:37 AM). Sejak umur tiga lima tahun saya begitu betah main di mesjid. Masuk SD (1980) dan SMP (1990).
Setiap waktu ashar hingga maghrib tiba kami tabuh genderang dogdog kami dan bersahut-sahutan, senandungkan shalawat, asmaul husna, dan juga lagu-lagu pujian kami kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW. Sepanjang shaum bahkan, saya dan kawan-kawan sepakat untuk sahur lebih awal dan keluar sebelum jam setengah empat shubuh dan mulai marching dogdog kami keliling kompleks untuk meramaikan sahur bulan Shiam.
Sekali lagi, lagi-lagi seingat saya, kami melakukannya karena kecintaan kami terhadap Allah SWT dan Rasululah SAW. Puncak kreasi kami adalah pawai dogdog di malam takbiran.
Ketika sekelompok orang—pendatang yang kabarnya adalah penyebar Islam, modernis yang punya pemikiran maju dalam mengembangkan Islam sekaligus giat memurnikan Islam, dan berkomitmen tinggi meramaikan mesjid—datang dan mulai mengkritik kegiatan kami, katanya berisik, tak menggunakan mesjid seperti mestinya, dan mulai mendengung-dengungkan isu bid’ah.
Kami was-was. Namun, atas kecintaan kami kepada Allah, kepada Rasulullah, dan kepada musik, kami tetap melakukan ritual kami itu. Hingga akhirnya di malam takbiran tahun 1992, setelah kami lelah menggelar rampak dogdog, bedug, dan senandung shalawatan keliling kampung dan kompleks, dan kami yang lelah memutuskan untuk menggelar musik religius kami di lapangan halaman mesjid, seorang pendatang baru, bapak-bapak botak, dengan wajah merah padam menghampiri kami.
Saat itu, malam hampir berakhir dan takbiran dari speaker mesjid sedang ramai-ramainya kami iringi dengan talu-talu perkusi kami. Sang bapak turun dari jalan raya dan bergegas menghampiri kami.
“Hentikan!” serunya. “Ini nggak bener! Talu-talu yang kalian lakukan adalah praktek penyembahan matahari. Ini bid’ah! Ini musrik! Jelas-jelas musrik!!!,” teriaknya.
Walhasil, keluar dari mesjid dan terlempar di jalan. Mereka mengusir kami dari mesjid mulai berkata: “Kalian kaum muda bergajulan! Jauh dari Allah! Nongkrong di pinggir jalan, brang-breng-brong gak jelas! Bukannya meramaikan mesjid malah menyumpeki pinggiran jalan! Kalian sampah!”
Kuatnya, pemahaman keagamaan terjadi pada Ivan Firmansyah, scumbag begundal hardcore ugal-ugalan adalah pionir pendobrak Ujungberung Rabels. Kimung menceritakan dalam buku My Self: Scumbag, Beyond Life and Death (2007).
Pada saat puasa di bulan ramadhan Ia selalu menasihati kawan-kawanya untuk tetap shaum dan shalat. Lantunan adzan dari kejauhan terdengar agak sayup-sayup mengisaratkan pertemuan Abid dengan Sang Kholik. Aing kan geus mabok van! Sengit Bebi protes. Eh..!! mabok mah mabok. Tapi nu lima waktu kudu jalan terus, ivan menjawab tak kalah sengit.
Prinsip ini sangat dipegang karena Ivan pernah menjadi bagaian Ikatan Remaja Mesjid Membangun Daerah (Remamuda) Al-Hidayah; Ikatan Remaja Nurul Islam (IRNI); Ketua Ikatan Remaja Mesjid Sekolah Menengah Pertama (SMP) 12 Bandung.
Besarnya pola keagamaan termaktub dalam lirik Unblessing Life -sebuah lagu di album terakhir Burgerkill, Beyond Coma and Despair. "Ya tuhan, begitu pekatnya ruang jiwaku/Hanya kematian terus samar memanggil/Singkirkan harapan yang terus memudar/Semakin tak bermakna/Semakin tak bercahaya/Inikah garis hidup yang tak terberkati?!"
Tak ketinggalan pada diri Addy Gembel, personil Forgotten segala keluh kesah agama dan merasa dekat dengan Tuhan dicurahlan lewat album Tuhan Telah Mati (2001).
Hilang sudah logika/Terbakar oleh dusta/Mereka hina dan nista/Terjerat oleh dunia/Mati Logika, putuslah asa, sembah dunia/Kotor media, racuni jiwa, halalkan dosa/Tuhan telah mati (4x). Mati Logika, putuslah asa, sembah dunia/Persetan semua ajarannya/Jadikan nyata hancurkan dosa/Hiduplah dengan rakusnya dunia/Habiskan semua sampah logika/Tuhan telah mati (4x). Hilang sudah logika/Terbakar oleh dusta/Mereka hina dan nista/Terjerat oleh dunia.
Pun saat meluncurkan buku Tiga Angka Enam! (2005) yang kental dengan unsure-unsur keagaman. “Gue hanya minta sekeping surga yang selama ini kamu miliki. hanya sekeping saja. Di antara jutaan keping yang sudah lo miliki hingga saat ini. penebusannya adalah lo boleh miliki gwa hingga waktu yang tak terbatas. walaupun untuk bisa seperti itu semua tabungan keberanian gwa habis gwa gadaikan didepan lo.” (Tempo, 26 April 2009).
Kegiatan keagamaan menjadi bagian yang tak terpisahkan pada diri Aci Personil Gugat, karena pengajar di TK Kuncup Harapan Astana. Jl Karang Anyar No 37 Kec.Astana Anyar Kota Bandung. Salah satu personil musik cadas permpuan dan memakai kerudung sebagai petanda muslimah yang taat beragama. (Oasis Metro TV, 17 Februari 2011).
Inilah cara komunitas music cadas dalam memaknai keberagamaan. Pasalnya, pola keberagamaan tidak hanya dilihat dari aspek ritual (shalat, pergi ke mesjid, menghadiri pengajian, memakai peci dan kerudung) semata, tapi dari segi pemikiran, perilaku dan karya nyata patut kita lirik. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar