Selasa, 26 April 2011

Panceg Dina Jalur Homeless Crew Ujungberung Rebels



Ujungberung adalah sebuah kota
kecamatan di Bandung bagian
paling timur, terdapat di
ketinggian 668 m di atas
permukaan laut, berbatasan
dengan Kecamatan Cibiru di timur, Kecamatan Arcamanik di
barat, Kecamatan Cilengkrang
Kabupaten Bandung di utara,
dan Kecamatan Arcamanik di
Selatan. Luasnya 1.035,411 Ha,
dengan jumlah penduduk 67.144 jiwa. Sejak dulu, Ujungberung
terkenal sangat kental dengan
seni tradisionalnya, terutama
seni bela diri benjang, pencak
silat, angklung, bengberokan,
dan kacapi suling.

Kultur kesenian rupanya tak
lekang dari generasi muda
Ujungberung walau Ujungberung
kemudian dibom oleh kultur
industri. Daya eksplorasi kesenian
yang tinggi membuat tipikal seniman-seniman muda
Ujungberung terbuka terhadap
segala pengaruh kesenian. Salah
satu yang kemudian berkembang
pesat di Ujungberung selain seni
tradisional adalah musik rock/ metal. Berbicara mengenai hasrat
musik ini, focus kita tentu saja
akan tertuju pada komunitas
metal tertua dan terkuat,
Ujungberung Rebels.

Dapat dianggap, Kang Koeple
(kakak Yayat-produser
Burgerkill) dan Kang Bey (kakak
Dani-Jasad) adalah generasi awal
pemain band rock di
Ujungberung. Pertengahan tahun 1980an hingga awal 1990an,
mereka memainkan lagu-lagu
rock semacam Deep Purple, Led
Zeppelin, Queen, dan Iron Maiden
selain juga menciptakan lagu
sendiri. Era ini kultur panggung yang berkembang Ujungberung,
dan juga di Bandung, adalah
kultur festival. Band tandang-
tanding di sebuah festival musik
dan band yang menang akan
masuk dapur rekaman. Kita mungkin masih ingat Rudal Rock
Band, salah satu band rock yang
lahir dan sukses dari kultur ini— dan kemudia mengispirasi banyak
anak muda untuk emmainkan
mwtal ayng dari hari ke hari
semakin kencang saja.

Tahun 1990 di Ujungberung
misalnya, Yayat mendirikan
Orthodox bersama Dani, Agus,
dan Andris. Orthodox memainkan
Sepultura album Morbid Vision
dan Schizophrenia. Sementara itu di Ujungberung sebelah barat,
Sukaasih, berdiri Funeral dan
Necromancy. Funeral digawangi
Uwo, Agus, Iput, dan Aam.
Mereka memainkan lagu-lagu
Sepultura, Napalm Death, Terrorizer, dan lagu-lagusendiri.
Sementara itu, Necromancy— Dinan, Oje, Punky, Andre, Boy— memainkan lagu-lagu Carcass dan
Megadeth, selain juga menggeber
lagu-lagu sendiri. Di Ujungberung
sebelah timur, tepatnya di
daerah Cilengkrang I,
Tirtawening, berdiri Jasad yang digawangi Yulli, Tito, Hendrik, Ayi.
Mereka membawakan lagu-lagu
Metallica dan Sepultura.
Sementara itu, di Cilengkrang II
kawasan Manglayang, berdiri
band Monster yang membawakan heavy metal ciptaan sendiri
dengan motor gitaris Ikin,
didukung Yadi, Abo, Yordan,
Kenco, dan Kimung.

Yang unik, perkenalan para
pionir ini berawal dari tren anak
muda saat itu : main brik-brikan.
Dinan (Necromancy) pertama kali
kenal dengan Uwo-Agus (Funeral)
dari jamming brik-brikan. Pun di kawasan Manglayang. Para
personil Monster adalah para
pecandu brik-brikan. Mereka
berbincang mengenai musik,
saling tukar informasi, dan
akhirnya bertemu, membuat band, dan membangun komunitas.
Selain brik-brikan, faktor kawan
sesekolah juga menjadi stimulan
terbentuknya sebuah band. SMP
1 Ujungberung—kini SMP 8 Bandung—menyumbangkan Toxic —Addy-Ferly-Cecep-Kudung— yang merupakan cikal bakal dari
Forgotten. Band anak-anak SMP
ini berdiri sekitar tahun 1991
atau 1992. Addy kita kenal
sebagai vokalis Forgotten.
Sementara Ferly adalah gitaris Jasad sekarang. Belum lagi band-
band di SMA 1 Uungberung—kini SMA 24 Bandung—yang tak tercatatkan saking banyaknya.

Di antara band-band tersebut,
band yang berhasil membangun
jaringan pertemanan yang baik
adalah Funeral dan Necromancy.
Bersama kawan-kawan sesama
penggila musik ekstrim dari seantero Bandung, mereka
berkumpul di lantai 3 Bandung
Indah Plaza (BIP) dan membentuk
kelompok yang mereka namakan
Bandung Death Brutality Area
atau sering mereka sinfkat Badebah. Selain Funeral dan
Necromancy, tercatat band Voila
dan The Chronic yang juga
termasuk ke dalam komunitas
Badebah. Nama Badebah juga
kemduian diadopsi menjadi sebuah program siaran di Radio
Salam Rama Dwihasta yang
dibawakan oleh Agung, Dinan,
Uwo, Agus, dan Iput di Sukaasih,
Ujungberung, tahun 1992.
Program Badebah memutarkan lagu-lagu ekstrim, dari thrash
metal, crossover, hingga death
metal, dan grindcore—yang saat itu tentu masih asing di tengah
dominasi hard rock, heavy metal,
atau speed metal.
Homeless Crew
Kultur festival yang dirasa
kurang bersahabat membuat gerah segelintir musisi muda.
Dalam festival mereka harus
memenuhui banyak syarat yang
intinya adalah sama : menuntut
band untuk menampilkan wajah
sama, bermanis muka agar menang di depan sponsor atau
produser. Hal itu memangkas
semangat ekspresi rock/metal
juga semangat terdalam dan
manusiawi dalam diri seorang
seniman untuk berkarya. Dengan kesadaran baru itu gelintiran
musisi muda Ujungberung maju
dan merangsek jalanan.

Di saat yang sama, generasi baru
di bawah anak-anak Badebah
mulai berkumpul dan membentuk
kelompok pecinta metal ekstrim
semacam Badebah. Mereka
menamakan diri Bandung Lunatic Underground (BLU) yang didirikan
secara kolektif oleh Ipunk, Romy,
Gatot, Yayat, Dani, Bangke, dan
lain-lain. Seperti halnya Badebah,
BLU menampung banyak hasrat
music dari metal, hardcore, hingga punk. Di bawah BLU,
pengembangan jaringan
pertemanan para pecinta metal
semakin meluas saja. Music metal
ekstrim juga semakin ramai
dengan terbukanya GOR Saparua untuk pergeralan-pergelaran
music ekstrim.

Di Ujungberung sendiri,
perkembangan musik ekstrim
didukung oleh Studio Palapa,
sebuah studio music milik Kang
Memet yang dikelola oleh duet
maut Yayat dan Dani. Studio ini kemudian menjadi kawah
candradimuka band-band
Ujungberung hingga melahirkan
band-band besar, kru-kru yang
solid, dan musisi-musisi jempolan.
Studio Palapa juga yang kemudian melahirkan rilisan-
rilisan kaset pertama di
Indonesia. Mereka merekam lagu-
lagu dengan biaya sendiri,
mendistribusikan sendiri,
melakukan semua dengan spirit Do It Yourself. Dari sepuluh band
independen di Indonesia yang
tercatat Majalah Hai tahun 1996,
tiga di antaranya berasal dari
Ujungberung. Mereka adalah
Sonic Torment, Jasad, dan Sacrilegious. Label dan
perusahaan rekaman yang
mereka kibarkan adalah Palapa
Records.

Sayang dinamika ini berbanding
terbalik dengan BLU. Tahun 1994,
organisasi pecinta music ekstrim
ini terpecah ketika scene metal
semakin ramai. Setidaknya,
kelompok ini terbagi tiga, yaitu Black Mass yang terdiri dari
anak-anak black metal, Grind
Ultimatum yang terdiri dari anak-
anak grindcore, dan sisanya,
kebanyakan anak-anak
Ujungberung yang lebih terbuka dan inklusif dalam mengapresiasi
music, membentuk Extreme Noise
Grinding (ENG) awal tahun 1995.
Yayat adalah tokoh sentral ENG. Propaganda awal ENG ada tiga,
yaitu membuat media komunitas
musik metal bawahtanah,
membuat pergelaran music metal
sendiri, dan mebentuk kru yang
mendukung performa band-band Ujungberung. Manifestasi dari
propaganda media adalah
berdirinya Revograms Zine yang
dibentuk oleh Dinan pada April
1995 dengan tim redaksi yang
terdiri dari Ivan, Kimung, Yayat, Dandan, Sule, Gatot. Manifestasi
dari propaganda pergelaran
sendiri band-band Ujungberung
adalah digelarnya acara Bandung
Berisik Demo Tour yang lalu
dikenal sebagai Bandung Berisik I. Di acara ini lima belas band
Ujungberung unjuk gigi, ditambah
bintang tamu Insanity dari
Jakarta. Tahun 2004 kelak,
bandung Berisik IV di Stadion
Persib dicatat oleh Time Asia sebagai pergelaran music
bawahtanah terbesar di Asia
setelah berhasil menyedot
audiens sebanyak 25.000
metalhead dari seluruh Indonesia.

Sementara itu, manifestasi dari
propaganda kru band adalah
dengan terbentuknya Homeless
Crew. Ini merupakan kelompok
musisi-musisi muda yang aktif
mempelajari seluk beluk sound system dan teknis pergelaran
sebuah band dengan cara
belajanr langsung menjadi kru
band kawan-kawannya. Pada
gilirannya, Homeless Crew tak
Cuma berperan sebagai kru yang vital bagi sebuha band, tapi juga
menjadi gaya hidup anti-mapan
ala anak-anak Ujungberung yang
menolak untuk “berumah”. Gaya hidup anti-mapan ini bukan
hanya ada di alam pikiran anak-
anak Ujungberung, namun benar-
benar mereka amalkan dengan
keluar rumah, bergabung dengan
kelompok mereka untuk tinggal bersama di jalanan. Para
pencetus Homeless Crew adalah
Yayat, Ivan Scumbag, Kimung,
Addy Gembel, dan tentu saja
sang radikal, Dinan.

Ujungberung Rebels
Antara tahun 1995 hingga 1997,
Homeless Crew semakin
berkembang pesat. Setidaknya
ada dua puluh band berdesakan
hidup di jalanan Ujungberung dengan semangat juang yang
tinggi. Seiring dengan
penggarapan Bandung Berisik II,
Homeless Crew berencana
menghimpun kekuatan band-
band mereka ke dalam satu kompilasi. Proyek ini dikomandoi
sendiri oleh Yayat sehabis
bandung Berisik II usai digelar.
Ada enam belas band ikut serta
mendukung kompilasi ini dan
membiayai rekaman mereka secara swadaya. Mereka
kemudian menamai kompilasi
mereka Ujungberung Rebels.
Istilah “rebels” digunakan karena apa yang mereka
lakukan pada saat itu adalah
memang sebuah pemberontakan.
Bukan hanya pemberontakan
pada scene music secara umum
yang sangat didominasi music pop, tapi juga pemberontakan
kepada pengkotak-kotakan
music yang berujung pada
perpecahan genre di scene
bawahtanah Bandung. Melalui
kompilasi ini, Homeless Crew bagai ingin menunjukkan wajah
keragaman music yang ada di
Ujugnberung. Dan memang tak
cuma death metal dan grindcore
hadir dalam kompilasi ini. Punk,
gothic, dan hardcore ikut mewarnai kompilasi ini.

Kompilasi ini akhirnya dirilis
Independen Records dengan
tajuk Independen Rebels dengan
nilai transaksi empat belas juta
rupiah pada tahun 1998. Namun
demikian, walau nama “Ujungberung Rebels” tak jadi dijadikan judul kompilasi, namun
namanya tak lantas pudar.
Ujungberung Rebels malah
kemudian menjadi identitas baru
bagi komunitas musik metal
bawahtanah Ujungberung, berdampingan dengan nama
Homeless Crew. Masa itu, jika
memanggil Ujungberung Rebels
maka identifikasi scene akan
langsung tertuju pada Homeless
Crew.

Dari keuntungan kompilasi
Independen Rebels, Yayat
kemudian mendirikan sebuah
distro yang menampung hasil
kreativitas anak-anak
Ujungberung dan Indonesia pada umumnya, Distro tersebut ia
namai Rebellion, bertempat di jl.
Rumah Sakit Ujungberung.
Kabarnya, Rebellion adalah distro
kedua di Indonesia setelah
Reverse Outfit. Belakangan,Rebellion pindah,
bersinergi dengan Pisces Studio.
Pisces adalah studio milik Dandan
ketika Kang Memet akhirnya
memutuskan menjual alat-alat
band Studio Palapa, Februari 1997.

Sementara dinamika rilisan kaset
menggila, begitu juga dengan
zine dan media. Zine kedua
setelah Revogram adalah
Ujungberung Update. Mereka
yang berada di balik Ujungberung Update adalah Addy Gembel,
Amenk, dan Sule. Merekalah yang
kemudian membuat istilah tren
saat itu : Gogon, singkatan dari
“Gosip-gosip Underground”. Setelah Ujungberung Update,
kemudian lahir Crypt from the
Abyss yang diasuh oleh Opick
Dead, gitaris Sacrilegious saat
itu, Loud n’ Freaks yang diasuh oleh Toto, penabuh drum
Burgerkill, dan The Evening Sun
yang diasuh Dandan sang
drummer Jasad. Belakangan,
tahun 2000an, Toto bersinergi
dengan Eben membuat zine NuNoise, salah satu zine progresif
yang mengkover pergerakan
musik termutakhir. Selain itu,
Toto juga secara intens
menerbitkan newsletter bernama
Pointless selama tahun 2003 hingga 2005. Zine lainnya yang
fenomenal dan terus bergerak
hingga kini adalah Rottrevore
yang diasuh oleh Rio serta Ferly,
gitaris Jasad, merupakan media
propaganda musik metal. Belakangan, Rottrevore
berkembang menjadi perusahaan
rekaman khusus musik metal.
Rottrevore dimiliki grinder
Jakarta, Rio, tapi dikelola oleh
anak-anak Ujungberung Rebels. Baby Riots War Machine Squad,
Grinding Punk Corporation,
Cicaheum Hell Park

Baby Riots adalah sebutan anak-
anak Ujungberung Rebels bagi
pasukan tempur bentukan
Butchex, pentolan band The
Cruels dan Mesin Tempur. Tahun
1999 Ujungberung Rebels berkembang semakin pesat
secara kualitas, kuantitas, dan
totalitas. Saat itu juga mulai
terasa konflik dan gesekan
antara para metalhead kita
dengan masyarakat sekitar. Ujungberung yang berkultur
indsutri dan merupakan daerah
peralihan yang tanggung— kampung bukan, kotapun bukan
—melahirkan banyak juga komunitas lain yang serba
tanggung dan kemudian lazim
kita namakan preman. Mereka
kurang senang melihat anak-
anak Ujungberung dengan segala
totalitasnya, wara-wiri di jalanan Ujungberung. Bentrokan dengan
preman-preman pun semakin
sering terjadi. Tak hanya itu,
perkembangan di scene music
yang semakin diwarnai
premanisme juga semakin memperkokoh Homeless Crew
Ujungberung Rebels untuk
berbuat sesuatu. Dan sesuatu itu
adalah dibentuknya Baby Riots
War Machine Squad.

Baby Riots War Machine Squad
adalah pasukan tempur
Ujungberung Rebels yang setia
membela kepentingan para
“presiden metal” Ujungberung Rebels. Menurut Butchex, sang
panglima, Baby Riots adalah
campuran anak-anak jalanan
Cicukang dan Cicaheum yang
barbar dan tak memiliki hasrat
lain selain bertempur. Baby Riots akan segera keluar sarang jika
ada yang mengganggu para
pionir Ujungberung. Untuk
menjadi anggotanya tak mudah.
Mereka akan dipantau oleh
Butchex, sang komandan, dilihat dari heroisme mereka membela
Ujungberung dan bila sudah
terbukti mereka akan diberi
kalung silet sebagai simbol
keanggotaannya. Namun
demikian, karena semakin liar dan tak terkendali, Butchex
kemudian membubarkan Baby
Riots.

Di saat yang bersamaan, gairah
bermusik Butchex juga semakin
membara ketika akhirnya
menemukan hasrat musik yang
selama ini terus ia bayangkan.
Hasrat itu ia dapatkan ketika bandnya, The Cruels, digarap
oleh musisi-musisi metal semacam
Dani Jasad, OpikDead, dan
Komenk. Bersama tiga metalhead
inilah Butchex merumuskan music
punk baru yang kental dengan aura metal dan grindcore, hingga
akhirnya lahirlahalbum The
Cruels, Hollow Horror tahun 2001.
Dalam sampul bagian dalamnya,
The Cruels menuliskan
propaganda musik mereka “It’ s a punk grinding time!” Secara tidak langsung, propaganda itu
adalah proklamasi berdirinya sel
baru yang tak kalah bahaya dari
Ujugnberung Rebels, Grinding
Punk Corporation (GPC).
Setidaknya ada enam band yang menurut Butchex hadir di awal
berdirinya GPC. Mereka adalah
The Cruels, Bloodgush, Sedusa,
Caravan of Anaconda,
Pemberontak, dan Six Men from
Egypt. Segera saja GPC berkembang ke seantero scene.
GPC kemudian berkoalisi dengan
Saraf Timur Squad Cicalengka
dengan ikon-ikonnya seperti
Tikus Kampung dan Punklung.

Ketika akhirnya Butchex bosan
bermusik, ia membunuh bosan itu
dengan bermain skateboard. Di
scene ini, ia juga lalu membentuk
sebuah kelompok pecinta
skateboard yang kerap bermain skateboard di belakang Terminal
Cicaheum Bandung sekitar tahun
2002 atau 2003. Karena begitu
rawan bentrokan dengan
preman-preman terminal serta
begitu jalanannya tempat para skater ini bermain-main, Butchex
menamakan kelompoknya,
Cicaheum Hell Park (CHP).
Belakangan, CHP juga sering
berkolaborasi dengan Neverland
Sakteboard yang terdiri dari bocah-bocan skater asuhan Pei
dari Ujugnberung melalui program
kampanye bermain lima belas
menit bersama anak-anak dalam
satu hari, Never Grow Up.

Bandung Death Metal Syndicate
dan Sunda Underground
Pertengahan tahun 2000an,
scene musik Indoensia
dibombardir oleh emocore. Hampir
semua panggung pergelaran didominasi oleh hasrat music ini,
bagaikan tak pernah akan ada
lagi panggung untuk death metal.
Prihatin dengan fenimena ini,
para pionir Ujungberung Rebels
semakin intens membincangkan fenomena yang memprihatinkan
ini. Death emtal akan tenggelam
jika para pionir diam saja
menandangi kudeta panggung
emocore atas detah metal itu.
Maka ketika tak ada lagi panggung dari orang lain untuk
death metal, para pionir sepakat
untuk mulai memikirkan
bagaimana menggarap panggung
sendiri yang mementaskan hanya
death metal saja. Tiga pionir yang kemudian mengeksekusi
hasrat tersebut adalah Man,
Amenk, dan Okid. Mereka
sepakat menggarap Bandung
Death Fest tahun 2006 yang
mementaskan band-band death metal Ujungberung, Bandung, dan
Indonesia. Bandung Death Fest
2006 digelar dengan sukses di
bawah kerja sebuah kolektif
bernama Homeless Grind.

Tahun 2007, ketika proses
persiapan bandung Death Fest II,
Homeless Grind berganti nama
menjadi Bandung Death Metal
Syndicate (BDMS). Ada beberapa
perubahan penting yang patut dicatat di sini. Yangpaling jelas
adalah komitmen anak-anak
Ujugnebrung Rebels yang
semakin tinggi terhadap
kebudayaan tradisional, dalam
hal ini Kasundaan. Man saat itu membuat logo BDMS bergambar
dua kujang yang saling bersilang
dengan semboyan yang
fenomenal Panceg Dina Galur.
Komitmen Kasundaan juga
dibuktikan dengan dimasukkannya pencak silat dan
debus sebagai pertunjukan plus
dalam Bandung Death Fest II.
Saat ini pula BDMS mulai kenal
dengan Kang Utun, salah satu
aktivis lingkungan hidup dan Kasundaan yang kemudian
semakin membukakan gerbang
adat kepada para metalhead
muda kita.

Masa inilah Ujungberung Rebels
semakin dekat dengan kelompok-
kelompok Kasundaan di Bandung.
Mereka semakin sering
menghadiri berbagai acara adat
dari pabaru Sunda, Rarajahan, Tumpek Kaliwon, atau hanya
kongkow-kongkow santai
membincangkan berbagai hal
ngalor-ngidul. Atas
keikutsertaannya dalam berbagai
acara adat, Ujungberung Rebels kemudian sering dijuluki juga
sebagai Kelompok Kampung Adat
Sunda Underground. Komitmen
Kasundaan semakin menyala-
nyala ketika akhirnya berdiri
Karinding Attack yang beranggotakan Man, Amenk,
Kimung, Jawish, Gustavo, Ari, dan
Kimo selain juga Kang Utun, mang
Engkus, dan kang Hendra yang
mewakili kelompok adat
Kasundaan.

Di sisi lain BDMS semakin nyata
menunjukkan taringnya ketika
berhasil dengan mansi dan
kreatif berkolaborasi dengan
pihak tentara ketika menggelar
Bandung Death Fest III 9 Agustus 2008 yang memapu menyedot
penonton hingga 15.000
metalhead muda. Fenomena yang
sama juga terulang tanggal 17
Oktober 2009 ketika BDMS
menggarap Bandung Death Fest IV kembali di Lapangan Yon Zipur.
Patut dicatat pula, dua
pergelaran terakhir itu adalah
kolaborasi Ujungberung Rebels
dengan scene komunitaas kreatif
bandung yang termaktub dalam pergelaran bersama Helarfest
2008 dan Helarfest 2009.

Begundal Hell Club dan Bandung
Oral History
Begundal Hell Club (BHC) berdiri
tahun 2007, merupakan fansclub
Burgerkill. Sejak berdirinya, klub
ini mendapat sambutan yang sangat baik dari khalayak. Kini
BHC tak hanya menyebar di
Indonesia, tapi juga hingga
Australia. BHC Australia juga yang
berperan besar ketika Burgerkill
akhirnya bisa tur di Australia barat awal tahun 2008. Eben
sang kreator dan otak dari BHC
berperan besar dalam
mengembangkan klub ini.
Berbagai acara beraura
pendidikan komunitas telah digelar BHC sepanjang usia
mereka yang baru seumur
jagung. Kini BHC sedang
berancang-ancang untuk
membuat pergelaran khusus BHC
dan juga kompilasi band-band BHC.

Aroma pendidikan komunitas
yang lebih kental tercium dari
kelompok riset Bandung Oral
History (BOH). Kelompok ini berdiri
Desember 2008, diprakarsai oleh
Kimung dan Gustaff, mengkhususkan diri
berkecimpung di riset sejarah
Kota Bandung dengan metode
sejarah lisan sebagai metode
utama. Sejak berdiri, hingga kini,
setidaknya ada dua puluh draft outline riset yang telah
dihasilkan para periset. Beberapa
draft tersebut adalah riset
tentang GOR Saparua, Viking
Persib, kiprah para wanita di
scene bawahtanah Bandung, kiprah para orang tua di scene
bawahtanah Bandung, sejarah
Ripple, fenomena CD bajakan di
Kota Bandung, gambaran umum
komunitas kreatif di Bandung,
sejarah kusen keluarga, biografi Priston sang anak jalanan,
sejarah Benajng, sejarah
Tajimalela di SMAN 1 Cileunyi,
sejarah Kopi Aroma, sejarah
Persib, sejarah band Sonic
Torment, sejarah band Homicide, sejarah GMR FM, sejarah
bandung eath Metal Syndicate,
kiprah Tiger Association Bandung,
fenomena All Star di scene indie
Bandung, serta riset mengenai
Ujungberung Rebels.

Bulan Februari 2009, BOH
menggelar pameran hasil riset
bersama mereka mengenai
kompilasi-kompialsi yang ada di
Kota bandung anatar tahun
1995 hingga 2008. Setidaknya ada tujuh puluh enam kompilasi
yang mereka riset berdasarkan
bimbingan Idhar dan Kimung. Kini
setidaknya ada dua belas riset
berkaitan dengan wajah Kota
Bandung yang terus dilakukan oleh para periset muda BOH. Hasil
riset BOH dipresentasikan
tanggal 29 Oktober 2009 di
Commonroom dalam acara Nu
Substance Festival yang juga
termaktub ke dalam Helarfest 2009.

Ekonomi Kreatif Ujungberung
Rebels
Dinamika pergerakan
Ujungberung Rebels semakin
menggurita saja dari hari ke hari.
Kini setidaknya ada tiga lahan garapan ekonomi kreatif yang
berkembang di komunitas
Ujungberung Rebels, yaitu
fesyen, rekaman, dan literasi.
Yang paling subur adalah indsutri
fesyen. Setidaknya ada enam industri fesyen yang digagas
para pentolan Ujungberung
Rebels, mulai dari Media Graphic
dan distro Chronic Rock yang
dijalankan Eben, Distribute yang
dijalankan Pey, Reek yang dijalankan Ferly dan Man, Melted
yang dijalankan Amenk dan
Andris, CV Mus yang dijalankan
Mbie, serta Scumbag Premium
Throath yang ini diteruskan Erick
sepeninggal Ivan.

Di bidang industri rekaman,
Ujungberung memiliki dua
perusahaan rekaman yang
sangat dinamis, Rottrevore
Records yang dijalankan Rio dan
Ferly serta Revolt! Records yang dijalankan Eben. Rottrevore
bahkan memiliki media literasi
berupa majalah metal kencang
bernama Rottrevore Magazine.
Pentolan Ujungberung lainnya
yang aktif di dunia literasi adalah Iit dengan toko buku Omuniuum-
nya serta Kimung dengan zine
MinorBacaanKecil dan penerbitan
Minor Books yang menerbitkan
biografi Ivan, Myself : Scumbag
Beyond Life and Death, sebuah buku fenomenal, bagian dari
trilogi sejarah Ujungberung
Rebels dan Bandung
Underground.

Tentu selain tiga lahan garapan
tersebut masih banyak yang
lainnya seperti bisnis warnet
yang dikelola Kudung atau toko
musik atau sentra kuliner. Semua
lahan garapan pentolan-pentolan anak-anak Ujungberung Rebels
tersebut jelas membuka lebar
perbaikan perekonomian minimal
di kalangan internal Ujungberung
Rebels sendiri, maksimal ya… mungkin membayarkan hutang
Indonesia raya yang bejibun itu.

Segala pencapaian itu tak
datang dengan sendirinya. Segala
datang bersama daya konsistensi
yang sangat tinggi dan idealisme
yang teguh digenggam satu
tangan, sementara tangan yang lain menghajar jalanan dengan
senjata kreativitas. Tapi kunci
dari segalanya adalah keteguhan
prinsip. Panceg dina galur, tidak
gamang menghadapi perubahan.
Membaca segala perubahan sebagai kulit saja bukan sebuah
inti, sehingga ketika harus
menyesuaikan diri dengan
perubahan tak lantas kehilangan
diri tenggelam dalam euforia di
permukaan.

Segala pencapaian itu juga harus
dikelola dengan sinergi yang
positif di antara lahan-lahan
garapan kreativitas sehingga
akan terus berkembang dan
pada gilirannya menyumbangkan hal positif bagi masyarakat
kebanyakan. Sebuah sentra
bisnis dan pusat pengembangan
budaya di Ujungberung pasti
akan menjadi wadah yang
menampung segala aspirasi dan hasil kreativitas mereka menuju
totalitas yang paling maksimal.
Mininal gedung konser yang di
dalamnya terdapat juga youth
center, dan pusat dokumentasi
dan pengembangan riset sosial budaya yang memadai.
Berangan-angan? Tidak juga!
Panceg dina galur!

*Penulis adalah musisi, editor zine
Minor bacaan Kecil

Sumber :Rolingstone Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Total Tayangan Laman

theremon666@gmail.com
DOWNLOAD:
VOLTURYON - Coordinated Mutilation (2011) genre:Death orgin:Sweden BENIGHTED - Asylum Cave (2011) genre:Death/Grind orgin:France IMPRECATORY - Mortal Intestines Decay [2005] Genre(s) : Brutal Death metal Origin : Indonesia (Bandung) Band: Outlander Origin : Indonesia (Pontianak,West Borneo) Genre(s) : Slamming Brutal Death DEAD SQUAD - Horor Vision (2009) Indonesia (Jakarta) Genre(s) : Tech. Brutal Death Morbid Angel - 1989 -Abominations of Desolation Morbid Angel - 1991 - Blessed Are The Sick Morbid Angel - (1990) Altars Of Madness Morbid Angel - 1993 - Covenant Morbid Angel - (1995) Domination Morbid Angel - (1996) Entangled in Chaos - (Live) Morbid Angel - (2000) Gateways To Annihilation Morbid Angel - (2002) Tyrants From The Abyss (Tribute to Morbid Angel) Morbid Angel - (2003) Heretic Morbid Angel - (2005) Ignominious - Part REMON INSIDE™ Brutal Music Reviews

Cari Blog Ini

REMON INSIDE™ :
free counters